Ada sebuah term yang berkembang bahwa kalangan tradisional (warga nahdliyyin) adalah mereka yang kuno, tidak mau merespon modernitas, stagnan dalam pemikiran baik masalah agama maupun perkembangan teknologi. Hal tersebut terlihat melalui beberapa pesantren yang sampai saat ini masih melanggengkan tradisi pembelajaran dengan literatur kitab klasik dan belum mampu mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum. Hal lain juga terlihat pada sejumlah keputusan atau fatwa ulama’ yang belum mampu merespon isu-isu kontempore semisal pluralisme, emansipasi perempuan dan demokrasi.
Term ini bisa jadi benar, namun bisa jadi benar-benar keliru. Karena yang terjadi sesungguhnya warga nahdliyyin begitu dinamis dan cenderung progresif dalam merespon isu-isu kontemporer yang muaranya adalah menjunjung tinggi demokrasi, penegakan HAM dan keadilan sosial.
Sejak didirikannya pada tahun 1926, NU adalah organisasi sosial keagamaan yang begitu visioner dan bercarapandang kedepan. Merebaknya gerakan kaum modernis yang membawa jargon “kembali pada Qur’an dan Hadits” dan bermaksud mengeliminir segala bentuk amaliah kaum muslim yang dinilai syirik dan tak ada anjuran dari Qur’an maupun Hadits, menjadi ancaman serius bagi kehidupan kaum muslim kala itu. NU hadir, sebagai penyeimbang dan meng-counter gerakan tersebut. NU melihat bahwa, nusantara bukan negara arab, kondisi sosial masyarakat kita memaknai Islam dengan caranya sendiri. Warisan tradisi tidak sepenuhnya praktik syirik, karena didalamnya dilakukan internalisasi nilai-nilai ke-Islam-an.
Menjelang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU juga berperan aktif dalam perjuangan momen ini. Dimulai dari keterlibatan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), dalam perumusan dasar negara, sampai merumuskan strategi mempertahankan kemerdekaan RI. Secara aktif, kiai-kiai dari pondok pesantern besar di Jawa dan Madura melakukan konsolidasi untuk siap berjihad membela tanah air melawan sekutu. Pasca kemerdekaan, NU juga mengambil peran dengan menempatkan sejumlah kadernya dalam posisi strategis, seperti Menteri Agama dalam jajaran Pemerintah RI. Ini bukan hal mudah, karena persaingan dan arus perpolitikan negara saat itu begitu keras. KH. Wahab Chasbullah, adalah salah satu ulama’ yang mahir melakukan manuver politik demi menjaga kepentingan warga nahdliyyin khusus dan umat muslim secara umum. Inilah yang kemudian dikenal istilah “Tradisionalisme Radikal”, NU tradisional dalam ritus keagamaan namun radikal dalam wilayah politik bernegara.
Fokus pada tulisan ini yakni pada dekade 1980 an, NU mulai mengambil keputusan untuk fokus terhadap wilayah umat. Pembenahan bidang keagamaan, ekonomi, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Yang dikenal istilah “Kembali Ke Khittah 1926” pada saat Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Pada masa-masa inilah gerakan intelektual muda NU mulai menunjukkan taringnya. Beberapa diantaranya adalah para alumni pesantren, khususnya yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi, baik PT agama seperti IAIN atau PT umum, tidak sedikit dari mereka berasal dari keluarga kiai. Abdurrahman Wahid adalah salah satu diantaranya. Secara aktif ia menyebarkan pemikirannya lewat berbagai tulisan yang dicetak di beberapa koran dan majalah nasional seperti Kompas dan Tempo. Ketegangan NU dan Pemerintah pada masa itu menjadikan Gus Dur, sapaan Abdurrahman Wahid, selaku Ketua Tanfidziyah NU melakukan sejumlah kebijakan yang kadang tidak bisa diterima oleh kalangan sesepuh NU. Karena memang paradigma dan cara berfikir yang berbeda dalam merespon realitas sosial, sempat Gus Dur dipertanyakan atas kepemimpinannya dalam NU saat itu. Ia lebih fokus pada pengawalan negara dalam penegakan demokrasi yang saat itu mulai digoyahkan dengan rencana pencalonan kembali Presiden Soeharto untuk periodenya yang ke-5.
Memasuki dekade 1990an sampai 2000an, para intelektual muda NU seolah menuai benih dari masa kepemimpinan Gus Dur. Lihat misalnya Said Agil Siraj dengan pemikiran menggugat doktrin aswaja, Masdar Farid Mas’udi dengan pemikiran Islam Emansipatorisnya, kelompok LkiS Yogyakarta dengan libelarisasi pemikiran Islamnya melalui penerbitan-penerbitan, telah mengusung semangat demokrasi dan modernisasi. Polarisasi pemikiran dari kalangan yang terkenal tradisional ini justru lebih modernis dari kaum modernis. Tokoh-tokoh revolusioner muslim seperti Hassan Hanafi, Nars Hamid Abu Zayd, Muhammad Jaber al-Jabiri, Muhammad Arkoun dan Asghar Ali Engineer menginspirasi corak pemikiran mereka, sehingga lebih dikenal dengan kelompok Post-Tradisionalis Islam (Islam Post-Tra).
Tugas kita kemudian adalah melanjutkan estafet perjuangan dan pemikiran, sehingga layak untuk masuk dalam kelompok Post-Tradisionalis Islam. Kaum intelektuak muda NU yang mampu merespon modernitas, menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan sosial, menegakkan maqashid al-syari’ah dalam bingkai mutiara aswaja serta senantiasa menanamkan slogan “NKRI Harga Mati” bagi kesejahteraan bangsa kita.
Salam Pergerakan,,,,!!!
Ditulis oleh: M. Choirun Najib (Ketua Komisariat Sultan Hadlirin 2013-2014 PMII Jepara)
Diedit oleh: Dhofri Shofwatul Anam (Kader PMII Rayon Syari'ah dan Hukum UNINSU Jepara)
0 komentar:
Posting Komentar