Sejarah Gelombang Pertama
Awal sejarah Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awal gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki,apalagi masyarakat tradisional berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum wanita di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan adanya funda mentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan,jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, dan penindasan perempuan.
Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat di wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme.
Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran blackfemale dalam kelahirannya. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua.
Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Gelombang Ketiga
Dengan keberhasilan gelombang kedua itulah, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial. Gelombang ketiga, yang dimulai pada tahuan 1990-an sering diasosiasikan sebagai pintu masuk dari ide-ide post-struktural dan posmodern, sebagai feminisme yang lebih berbeda. Sepanjang gelombang-gelombang kedua dan ketiga, ketertarikan para feminis pada isu ketidaksetaraan, kemiskinan, dan relasi-relasi gender memproduksi tubuh yang signifikan terhadap ide-ide kritis mengenai pembangunan dan isu-isu yang diangkat oleh para feminis secara secara signifikan berdampak pada agensi-agensi internasional yang mengurusi masalah-masalah pembangunan menuju pada hal yang lebih luas bahwa teori feminis tentang pembangunan sekarang membentuk sistem konsep-konsep, wacana-wacana, dan praktik-praktik yang diakui.
Praktik feminis kontemporer diantara para aktivis dan akademisi telah secara partikular dipengaruhi oleh debat-debat yang dimulai oleh perempuan kulit berwarna dunia pertama dan perempuan ketiga mulai pada akhir tahun 1970-an. Sebagai pernyataan awal dari perkumpulan Combahee River (1984) mempertanyakan ide atau gagasan tentang identitas perempuan pada umumnya sebagai sebuah basis strategi politik. Para penyair dan pengarang, terutama Bell Hooks dan Audre Lordre, mengkritisi gerakan perempuan karena mengesampingkan (isu-isu tentang) perbedaan seksual, rasial, dan kelas. Karya-karya Chandra Mohanty (1991a, 1991b) dan Adrianne Rich (1986) menandai suatu gerak dari politik feminis dengan identitas umum-semisal lingkaran persaudaraan, dengan asumsi-asumsinya tentang opresi terstruktur terhadap semua perempuan–kepada lokasi politik feminis, yang menteoretisasi bahwa para perempuan adalah subjek bagi sekumpulan opresi tertentu dan kemudian bahwa seluruh perempuan muncul dengan identitas partikular daripada identitas generik. Gerakan-gerakan perempuan menjadi terikat melalui jaringan-jaringan menuju sesuatu yang erat kaitannya dengan praktik politik pada umumnya, tapi tidak lebih lama dipersatukan oleh suatu kepercayaan dalam karakteristik-karakteristik universal atau dipimpin oleh perempuan Barat yang progresif dalam gerak menuju pada emansipasi global. Secara khusus, Lorde, Mohanty, dan lainnya menyebut hal tersebut sebagai pergantian dramatis dalam praktik politik kolektif dan dalam pendirian para perempuan di Dunia Ketiga.
PBB selama sepuluh tahun kemajuan perempuan (1975-1985) memacu pertumbuhan kelompok-kelompok feminis secara mendunia (E. Friedman 1995; Miles 1996). Sebagai hasil dari tekanan dari gerakan feminis, secara virtual setiap organisasi pembangunan membangun beberapa proyek dan program untuk meningkatkan posisi perempuan dalam lingkup ekonomi dan sosial. Asumsi yang hampir menyeluruh dibelakang proyek-proyek ini adalah bahwa permasalahan perempuan bersumber pada terbatasnya ruang partisipasi (perempuan) dimana sebaliknya disana proses pertumbuhan ekonomi cenderung membaik. Ide liberal yang progressive adalah meningkatkan partisipasi perempuan dan juga meningkatkan pembagian dan akses mereka terhadap sumberdaya, kesempatan kerja, dan pendapatan dalam rangka memberikan efek dramatis terhadap perbaikan kondisi hidup mereka. Pada akir tahun 1970-an, beberapa studi mendokumentasikan fakta-fakta tentang kehidupan-kehidupan perempuan, seperti jumlah buruh perempuan yang tak diupah sebagaimana mestinya, semantara pada waktu yang sama, studi kualitatif in-depth melihat peranan perempuan pada komunitas-komunitas lokal. Sebagai hasilnya, rangkuman berikut yang disusun oleh PBB adalah:
Perempuan adalah setengah dari populasi penduduk dunia
Melakukan dua pertiga dari jam-jam kerja diseluruh dunia
Mendapatkan sepersepuluh pemasukan (income) di dunia
Memiliki hanya seperseratus properti di dunia
Namun, sepanjang PBB mengumumkan kepada para perempuan akan posisi mereka yang sebenarnya tambah parah, dalam hal penurunan akses terhadap sumber daya, nutrisi, dan pendidikan, dan dalam hal beban kerja yang semakin meningkat. Kegagalan ini mendramatisasi batasan kemanjuran dari pendekatan integrasionis, dan meradikalisasi studi tentang perempuan dan (and) pembangunan (Sen dan Grown 1987). Pada konferensi internasional tahunan perempuan yang diadakan di Meksiko 1975, dan di konferensi perempuan pertengahan dekade yang diadakan di Kopenhagen 1980, perdebatan panas memuncak seputar isu-isu yang relevan mengenai teori-teori feminis. Pada konferensi perempuan dan (and) pembangunan yang diadakan di Nairobi pada 1985, para perempuan Dunia Ketiga, sebagai mayoritas peserta, mendefinisikan isu-isu pokok, sementara hampir semua yang diorganisasikan dan didiskusikan hanya berkutat pada pertemuan-pertemuan alternatif selain program resmi PBB. Forum alternatif Nairobi menarik minat para perempuan untuk mendiskusikan kondisi-kondisi perempuan; tema utama dialamatkan pada kekerasan bias gender, pengesampigan perempuan dari kontrol terhadap sumber daya-sumber daya vita, feminisasi kemiskinan, dan keinginan untuk pendekatan-pendekatan radikal yang memper tanyakan struktur-struktur yang ada dalam masyarakat.
Feminisme bergeser dari yang umumnya kepentingan para perempuan Eropa untuk suatu gerakan yag heterogen, menuju pada definisi yang lebih meluas merefleksikan keterlibatan yang lebih baik melalui organisasi-organisasi regional di negara-negara dunia ketiga. Pada permulaan tahun 1980-an perempuan Dunia Ketiga mengemukakan teori-teori baru pembangunan yang merangkul feminisme, sementara konferensi-konferensi perempuan tentang pemberdayaan perempuan sebagai agen-agen, daripada melihat mereka sebagai masalah-masalah, dari pembangunan (Bunch dan Carillo 1990). Sebuah kejadian kunci adalah pendanaan DAWN (Development Alternatives with Women for a New Era) di Bangladore, India, pada 1984. Pengalaman-pengalaman organisasi akar rumput yang dipimpin oleh para pediri organisasi ini untuk menghubungkan aktivitas-aktivitas mikrolevel kepada perspektif-perspektif makrolevel atas pembangunan: Pengalaman-pengalaman yang dirasakan setiap hari oleh para perempuan miskin Dunia Ketiga dalam perjuangan mereka untuk meyakinkan kelangsungan hidup secara mendasar bagi keluarga-keluarga mereka dan diri mereka sendiri...menyediakan lensa terjelas untuk memahami proses-proses pembangunan. Dan ini adalah aspirasi merka dan perjuagan-perjuagan untuk masa depan yang bebas dari opresi-opresi ganda dari gender, ras, dan nasion yang dapat membentuk basis bagi visi-visi dan strategi-strategi baru yang dunia inginkan (Sen dan Grown 1987: 9-10).
Berdasarkan riset dan debat yang intensif, DAWN memproduksi kerja sebagai strategi-strategi pembagnuan alternatif yang sangat mempengaruhi riset dan aktivisme di lapangan. Pada dasarnya, kelompok tersebut berargumentasi bahwa pendekatan-pendekatan alternatif jangka pendek untuk meningkatkan kesempatan kerja perempuan tidak efektif kecuali jika mereka dikombinasikan dengan strategi-strategi jangka panjang untuk mendirikan kembali kontrol penduduk (terutama perempuan) terhadap keputusan-keputusan ekonomi yang membentuk kehidupan mereka: “suara perempuan harus memasuki definisi pembangunan dan membuat pilihan-pilihan kebijakan” (Sen dan Grown 1987: 82). Kecenderungan sejak kemudian telah harus untuk menguatkan suara-suara Dunia Ketiga dan untu mempromosikan “pendekatan pemberdayaan” untuk pembangunan perempuan. Pada konferensi perempuan dunia keempat tahun 1995 di Beijing, Platform Aksi adalah tentang hak-hak perempuan: hak-hak pendidikan, makanan, kesehatan, kekuatan politis yang lebih baik, dan bebas dari kekerasan (Bunch, et al. 1995). Para perempuan di Dunia Ketiga telah mengorganisir diri untuk menghindari ancaman-ancaman dalam bidang ekonomi, lingkungan, hukum, budaya dan fisik, dan juga menentang bentuk-bentuk kediktatoran, militerisme, fundamentalisme, ketergantungan ekonomi, dan kekerasan terhdap perempuan. Gerakan-gerakan perempuan tidak secara penting diorganisir kedalam agenda-agenda feminis, tapi mereka benar-benar mempromosikan perspektif-perspektif perempuan: semisal, masuknya gerakan Chipko didaerah-daerah Himalaya, Gerakan Sabuk Hijau di Kenya, asosiasi Pekerja Perempuan Swamandiri di India, Pergerakan Para Ibu Hilang di Amerika (Miles 1996: 86).
Terus meningkat, beberapa kelompok mengusulkan feminisme-feminisme kultural tertentu sebagai basis-basis politik mereka. Namun, feminis-feminis dunia meneruskan kesatuan isu-isu seputar keadilan ekonomi, hak-hak manusia, dan degradasi lingkungan, ide tentang kesatuan melalui diversitas.
Islam Dan Hak-Hak Perempuan
Semua agama, terutama islam dewasa ini mendapat tantangan baru, karena dianggap sebagai salah satu yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Misalnya saja hal yang selalu penggambaran seolah-olah Tuhan adalah laki-laki pada hampir semua agama. Apakah konstruksi bahwa tuhan laki-laki tersebut adalah ketentuan tuhan ? atau sejauhmana pandangan tersebut dipengaruhi oleh budaya yang bias jender?. Jika hal tersebut benar, apakah sumber ketidak adilan tersebut berasal dari watak normatif agama itu sendiri ataukah justru berasal dari tafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil juga dipengaruhi olah tradisi dan budaya yang bias jender, atau ideologi lain yang diadopsi oleh pemeluk agama?. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah apakah prinsip dasar islam memperlakukan atau meletakkan posisi kaum perempuan secara adil dan secara gender dikaitkan dengan kaum laki-laki?.
Alqur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat islam menunjukkan bahwa pada dasarnya mengakui, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu ”nafs” (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan alqur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam AS. sehingga karenanya, kedudukan dan statusnya menjadi lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip alqur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui secara adil (equal) dengan hak suami. That’s why Alqur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan,yakni memberikan keadilan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Terlebih jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra islam yang ditransformasikannya.
Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan dan kedudukan atas laki-laki dan perempuan. Selain dalam pengambilan keputusan kaum perempuan dalam islam juga memiliki hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan, dan tidaklah suami atau bapaknya dapat mencampurinya. Kekayaan ini termasuk yang didapat melalui warisan maupun yang diusahakannya sendiri. Oleh karena itu mahar atau mas kawin dalam islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suami. Islam dengan ini menumbangkan sistem sosial sebelumnya yang dianggap tidak adil.
Dan dengan demikian seharusnya tidak ada satu ajaran pun dalam islam yang memisahkan (marginalisasi), diskriminatif dan merendahkan (subordinasi), serta melanggengkan kekerasan (violence) terhadap kaum perempuan, karena hal tersebut bertentangan dengan paham keadilan dalam islam. Lantas persoalannya adalah dari manakah datangnya pikiran ,keyakinan ,atau tradisi dan bahkan tafsiran keagamaan di masyarakat islam yang meletakkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki serta berbagai usaha untuk melanggengkannya? Untuk menjawab persoalan tersebut perlu diadakannya pendalaman dengan menggunakan analisis gender. Berangkat dari keyakinan bahwa islam menganut paham keadilan lah, maka setiap ketidak adilan yang berkembang dalam masyarakat islam adalah konstruksi sosial dan tafsiran yang seringkali muncul sebagai jawaban terhadap problem sosial (asbabun nuzul) dari suatu ayat pada saat itu. Karena itulah yang diperlukan adalah prinsip dasar “keadilan”, dan segenap yang melanggar prinsip itu haruslah didekonstruksi. Dalam rangka itulah dengan analisis gender akan dilihat berbagai pokok ajaran islam yang berkaitan dengan hubungan perempuan dan laki-laki yang merupakan ketidakadilan gender karena memang bukanlah kodrat Tuhan.
Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara perempuan dengan laki-laki, namun ini bukanlah alat pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik biologis perempuan yang dikodratkan berbeda dengan laki-laki. Namun perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Dalam islam perempuan juga memperoleh berbagai hak antara lain :
a) Hak-hak dalam bidang politik
Tidak ditemukan ayat/hadist yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam bidang politik.
b) Hak-hak dalam memilih pekerjaan
Memilih pekerjaan bagi perempuan juga tak ada larangan baik itu didalam atau diluar rumah, baik secara mandiri maupun kolektif, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta. Selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
c) Hak memperoleh pendidikan
Kalimat pertama yang diturunkan dalam Alqur’an adalah kalimat perintah untuk membaca( iqra’). Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya bagi kaum laki-laki tetapi juga perempuan karena “ menuntut ilmu difardlukan kepada kaum muslim baik laki-laki maupun perempuan”.
Post Feminisme dan Budaya Pop
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai mahluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini tidak dapat diterima perempuan muda era 90-an dan 2000-an di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat di “ibu” mereka di tahun 70-an didataran amerika dan inggris membuat generasi muda “bosan” dengan Feminisme. Feminisme seakan menjadi label halal untuk menuduh orang lain menjadi “tidak feminis” secara moral dan politik. Kelompok muda menjadi cikal bakal kelompok Post-Feminist. Para aktifis dalam periode post-feminisme menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat teks-teks ketertindasan perempuan . Kelompok ini membawa paradigma baru dalam feminisme,dari perdebatan seputar kesetaraan menuju perbedaan. Dan bagaimanakah perkembangan aliran feminisme di Indonesia? Sebagaian besar menganggap bahwa Indonesia masih mengalami euforia Feminisme. Dan layaknya euforia lainnya, terkesan norak dengan situasi yang baru, kaum feminist indonesia reaktif seperti halnya di barat pada era 60-an dan 70-an.
Adapun mengenai budaya POP dalam feminisme, tentunya terlalu luas bila harus dibahas dalam materi ini, mengambil contoh buku Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul Kajian Budaya Feminis: Tubuh,Sastra Dan Budaya Pop. Dalam pembahasan mengenai budaya pop dalam feminisme ada beberapa tema dan bisa dan harusnya di diskusikan lebih mendalam mengenai :
1. Komersialisasi tubuh perempuan (Seksualitas)
2. Komersialisasi tubuh perempuan dalam dunia entertain dan iklan.
3. Kapitalisasi perempuan dalam dunia fashion.
Secara prinsipil dan normatif islam menghargai,bahkan memberdayakan kaum perempuan. Namun dalam masyarakat terjadi konstruk yang mendiskriminasi perempuan. Untuk itu diperlukan upaya menegakkan keadilan dan merekonstruksi hubungan gender dalam islam secara lebih adil. Dengan ini menegaskan bahwa memperjuangkan posisi perempuan dalam islam sama sekali bukanlah perjuangan perempuan melawan laki-laki. Karena persoalan penindasan dan diskriminasi bukan persoalan kaum laki-laki, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan gender, yang salah satu legitimatornya adalah keyakinan agama yang bias gender yang perlu diusahakan adalah gerakan “transformasi” dan bukan gerakan untuk membalas dendam kepada kaum laki-laki, melainkan gerakan menciptakan suatu sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih adil.
Reference :
Kristeva,Nur Sayyid Santoso, M.A ”Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik”.Yogyakarta,INPHISOS,cetakan 7, 2010.
Mansour Fakih Et All ,”Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam”.
Dr.Phill dewi Candraningrum. Feminisme. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Aquarini Priyatna Prabasmoro ,”Kajian Budaya Feminis : Tubuh, Sastra Dan Budaya Pop”.
“Terdapat sebuah kebutuhan mendesak untuk menghapus mata rantai yang masih ada, dan paksaan-paksaan yang dengan keras membatasi kebebasan wanita sehingga ia mampu berpartisipasi secara dinamis dan efektif dalam membangun sebuah kehidupan baru” (Nawal El Sadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki)
Awal sejarah Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awal gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki,apalagi masyarakat tradisional berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum wanita di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan adanya funda mentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan,jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, dan penindasan perempuan.
Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat di wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme.
Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran blackfemale dalam kelahirannya. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua.
Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Gelombang Ketiga
Dengan keberhasilan gelombang kedua itulah, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial. Gelombang ketiga, yang dimulai pada tahuan 1990-an sering diasosiasikan sebagai pintu masuk dari ide-ide post-struktural dan posmodern, sebagai feminisme yang lebih berbeda. Sepanjang gelombang-gelombang kedua dan ketiga, ketertarikan para feminis pada isu ketidaksetaraan, kemiskinan, dan relasi-relasi gender memproduksi tubuh yang signifikan terhadap ide-ide kritis mengenai pembangunan dan isu-isu yang diangkat oleh para feminis secara secara signifikan berdampak pada agensi-agensi internasional yang mengurusi masalah-masalah pembangunan menuju pada hal yang lebih luas bahwa teori feminis tentang pembangunan sekarang membentuk sistem konsep-konsep, wacana-wacana, dan praktik-praktik yang diakui.
Praktik feminis kontemporer diantara para aktivis dan akademisi telah secara partikular dipengaruhi oleh debat-debat yang dimulai oleh perempuan kulit berwarna dunia pertama dan perempuan ketiga mulai pada akhir tahun 1970-an. Sebagai pernyataan awal dari perkumpulan Combahee River (1984) mempertanyakan ide atau gagasan tentang identitas perempuan pada umumnya sebagai sebuah basis strategi politik. Para penyair dan pengarang, terutama Bell Hooks dan Audre Lordre, mengkritisi gerakan perempuan karena mengesampingkan (isu-isu tentang) perbedaan seksual, rasial, dan kelas. Karya-karya Chandra Mohanty (1991a, 1991b) dan Adrianne Rich (1986) menandai suatu gerak dari politik feminis dengan identitas umum-semisal lingkaran persaudaraan, dengan asumsi-asumsinya tentang opresi terstruktur terhadap semua perempuan–kepada lokasi politik feminis, yang menteoretisasi bahwa para perempuan adalah subjek bagi sekumpulan opresi tertentu dan kemudian bahwa seluruh perempuan muncul dengan identitas partikular daripada identitas generik. Gerakan-gerakan perempuan menjadi terikat melalui jaringan-jaringan menuju sesuatu yang erat kaitannya dengan praktik politik pada umumnya, tapi tidak lebih lama dipersatukan oleh suatu kepercayaan dalam karakteristik-karakteristik universal atau dipimpin oleh perempuan Barat yang progresif dalam gerak menuju pada emansipasi global. Secara khusus, Lorde, Mohanty, dan lainnya menyebut hal tersebut sebagai pergantian dramatis dalam praktik politik kolektif dan dalam pendirian para perempuan di Dunia Ketiga.
PBB selama sepuluh tahun kemajuan perempuan (1975-1985) memacu pertumbuhan kelompok-kelompok feminis secara mendunia (E. Friedman 1995; Miles 1996). Sebagai hasil dari tekanan dari gerakan feminis, secara virtual setiap organisasi pembangunan membangun beberapa proyek dan program untuk meningkatkan posisi perempuan dalam lingkup ekonomi dan sosial. Asumsi yang hampir menyeluruh dibelakang proyek-proyek ini adalah bahwa permasalahan perempuan bersumber pada terbatasnya ruang partisipasi (perempuan) dimana sebaliknya disana proses pertumbuhan ekonomi cenderung membaik. Ide liberal yang progressive adalah meningkatkan partisipasi perempuan dan juga meningkatkan pembagian dan akses mereka terhadap sumberdaya, kesempatan kerja, dan pendapatan dalam rangka memberikan efek dramatis terhadap perbaikan kondisi hidup mereka. Pada akir tahun 1970-an, beberapa studi mendokumentasikan fakta-fakta tentang kehidupan-kehidupan perempuan, seperti jumlah buruh perempuan yang tak diupah sebagaimana mestinya, semantara pada waktu yang sama, studi kualitatif in-depth melihat peranan perempuan pada komunitas-komunitas lokal. Sebagai hasilnya, rangkuman berikut yang disusun oleh PBB adalah:
Perempuan adalah setengah dari populasi penduduk dunia
Melakukan dua pertiga dari jam-jam kerja diseluruh dunia
Mendapatkan sepersepuluh pemasukan (income) di dunia
Memiliki hanya seperseratus properti di dunia
Namun, sepanjang PBB mengumumkan kepada para perempuan akan posisi mereka yang sebenarnya tambah parah, dalam hal penurunan akses terhadap sumber daya, nutrisi, dan pendidikan, dan dalam hal beban kerja yang semakin meningkat. Kegagalan ini mendramatisasi batasan kemanjuran dari pendekatan integrasionis, dan meradikalisasi studi tentang perempuan dan (and) pembangunan (Sen dan Grown 1987). Pada konferensi internasional tahunan perempuan yang diadakan di Meksiko 1975, dan di konferensi perempuan pertengahan dekade yang diadakan di Kopenhagen 1980, perdebatan panas memuncak seputar isu-isu yang relevan mengenai teori-teori feminis. Pada konferensi perempuan dan (and) pembangunan yang diadakan di Nairobi pada 1985, para perempuan Dunia Ketiga, sebagai mayoritas peserta, mendefinisikan isu-isu pokok, sementara hampir semua yang diorganisasikan dan didiskusikan hanya berkutat pada pertemuan-pertemuan alternatif selain program resmi PBB. Forum alternatif Nairobi menarik minat para perempuan untuk mendiskusikan kondisi-kondisi perempuan; tema utama dialamatkan pada kekerasan bias gender, pengesampigan perempuan dari kontrol terhadap sumber daya-sumber daya vita, feminisasi kemiskinan, dan keinginan untuk pendekatan-pendekatan radikal yang memper tanyakan struktur-struktur yang ada dalam masyarakat.
Feminisme bergeser dari yang umumnya kepentingan para perempuan Eropa untuk suatu gerakan yag heterogen, menuju pada definisi yang lebih meluas merefleksikan keterlibatan yang lebih baik melalui organisasi-organisasi regional di negara-negara dunia ketiga. Pada permulaan tahun 1980-an perempuan Dunia Ketiga mengemukakan teori-teori baru pembangunan yang merangkul feminisme, sementara konferensi-konferensi perempuan tentang pemberdayaan perempuan sebagai agen-agen, daripada melihat mereka sebagai masalah-masalah, dari pembangunan (Bunch dan Carillo 1990). Sebuah kejadian kunci adalah pendanaan DAWN (Development Alternatives with Women for a New Era) di Bangladore, India, pada 1984. Pengalaman-pengalaman organisasi akar rumput yang dipimpin oleh para pediri organisasi ini untuk menghubungkan aktivitas-aktivitas mikrolevel kepada perspektif-perspektif makrolevel atas pembangunan: Pengalaman-pengalaman yang dirasakan setiap hari oleh para perempuan miskin Dunia Ketiga dalam perjuangan mereka untuk meyakinkan kelangsungan hidup secara mendasar bagi keluarga-keluarga mereka dan diri mereka sendiri...menyediakan lensa terjelas untuk memahami proses-proses pembangunan. Dan ini adalah aspirasi merka dan perjuagan-perjuagan untuk masa depan yang bebas dari opresi-opresi ganda dari gender, ras, dan nasion yang dapat membentuk basis bagi visi-visi dan strategi-strategi baru yang dunia inginkan (Sen dan Grown 1987: 9-10).
Berdasarkan riset dan debat yang intensif, DAWN memproduksi kerja sebagai strategi-strategi pembagnuan alternatif yang sangat mempengaruhi riset dan aktivisme di lapangan. Pada dasarnya, kelompok tersebut berargumentasi bahwa pendekatan-pendekatan alternatif jangka pendek untuk meningkatkan kesempatan kerja perempuan tidak efektif kecuali jika mereka dikombinasikan dengan strategi-strategi jangka panjang untuk mendirikan kembali kontrol penduduk (terutama perempuan) terhadap keputusan-keputusan ekonomi yang membentuk kehidupan mereka: “suara perempuan harus memasuki definisi pembangunan dan membuat pilihan-pilihan kebijakan” (Sen dan Grown 1987: 82). Kecenderungan sejak kemudian telah harus untuk menguatkan suara-suara Dunia Ketiga dan untu mempromosikan “pendekatan pemberdayaan” untuk pembangunan perempuan. Pada konferensi perempuan dunia keempat tahun 1995 di Beijing, Platform Aksi adalah tentang hak-hak perempuan: hak-hak pendidikan, makanan, kesehatan, kekuatan politis yang lebih baik, dan bebas dari kekerasan (Bunch, et al. 1995). Para perempuan di Dunia Ketiga telah mengorganisir diri untuk menghindari ancaman-ancaman dalam bidang ekonomi, lingkungan, hukum, budaya dan fisik, dan juga menentang bentuk-bentuk kediktatoran, militerisme, fundamentalisme, ketergantungan ekonomi, dan kekerasan terhdap perempuan. Gerakan-gerakan perempuan tidak secara penting diorganisir kedalam agenda-agenda feminis, tapi mereka benar-benar mempromosikan perspektif-perspektif perempuan: semisal, masuknya gerakan Chipko didaerah-daerah Himalaya, Gerakan Sabuk Hijau di Kenya, asosiasi Pekerja Perempuan Swamandiri di India, Pergerakan Para Ibu Hilang di Amerika (Miles 1996: 86).
Terus meningkat, beberapa kelompok mengusulkan feminisme-feminisme kultural tertentu sebagai basis-basis politik mereka. Namun, feminis-feminis dunia meneruskan kesatuan isu-isu seputar keadilan ekonomi, hak-hak manusia, dan degradasi lingkungan, ide tentang kesatuan melalui diversitas.
Islam Dan Hak-Hak Perempuan
Semua agama, terutama islam dewasa ini mendapat tantangan baru, karena dianggap sebagai salah satu yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Misalnya saja hal yang selalu penggambaran seolah-olah Tuhan adalah laki-laki pada hampir semua agama. Apakah konstruksi bahwa tuhan laki-laki tersebut adalah ketentuan tuhan ? atau sejauhmana pandangan tersebut dipengaruhi oleh budaya yang bias jender?. Jika hal tersebut benar, apakah sumber ketidak adilan tersebut berasal dari watak normatif agama itu sendiri ataukah justru berasal dari tafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil juga dipengaruhi olah tradisi dan budaya yang bias jender, atau ideologi lain yang diadopsi oleh pemeluk agama?. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah apakah prinsip dasar islam memperlakukan atau meletakkan posisi kaum perempuan secara adil dan secara gender dikaitkan dengan kaum laki-laki?.
Alqur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat islam menunjukkan bahwa pada dasarnya mengakui, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu ”nafs” (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan alqur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam AS. sehingga karenanya, kedudukan dan statusnya menjadi lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip alqur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui secara adil (equal) dengan hak suami. That’s why Alqur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan,yakni memberikan keadilan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Terlebih jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra islam yang ditransformasikannya.
Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan dan kedudukan atas laki-laki dan perempuan. Selain dalam pengambilan keputusan kaum perempuan dalam islam juga memiliki hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan, dan tidaklah suami atau bapaknya dapat mencampurinya. Kekayaan ini termasuk yang didapat melalui warisan maupun yang diusahakannya sendiri. Oleh karena itu mahar atau mas kawin dalam islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suami. Islam dengan ini menumbangkan sistem sosial sebelumnya yang dianggap tidak adil.
Dan dengan demikian seharusnya tidak ada satu ajaran pun dalam islam yang memisahkan (marginalisasi), diskriminatif dan merendahkan (subordinasi), serta melanggengkan kekerasan (violence) terhadap kaum perempuan, karena hal tersebut bertentangan dengan paham keadilan dalam islam. Lantas persoalannya adalah dari manakah datangnya pikiran ,keyakinan ,atau tradisi dan bahkan tafsiran keagamaan di masyarakat islam yang meletakkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki serta berbagai usaha untuk melanggengkannya? Untuk menjawab persoalan tersebut perlu diadakannya pendalaman dengan menggunakan analisis gender. Berangkat dari keyakinan bahwa islam menganut paham keadilan lah, maka setiap ketidak adilan yang berkembang dalam masyarakat islam adalah konstruksi sosial dan tafsiran yang seringkali muncul sebagai jawaban terhadap problem sosial (asbabun nuzul) dari suatu ayat pada saat itu. Karena itulah yang diperlukan adalah prinsip dasar “keadilan”, dan segenap yang melanggar prinsip itu haruslah didekonstruksi. Dalam rangka itulah dengan analisis gender akan dilihat berbagai pokok ajaran islam yang berkaitan dengan hubungan perempuan dan laki-laki yang merupakan ketidakadilan gender karena memang bukanlah kodrat Tuhan.
Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara perempuan dengan laki-laki, namun ini bukanlah alat pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik biologis perempuan yang dikodratkan berbeda dengan laki-laki. Namun perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Dalam islam perempuan juga memperoleh berbagai hak antara lain :
a) Hak-hak dalam bidang politik
Tidak ditemukan ayat/hadist yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam bidang politik.
b) Hak-hak dalam memilih pekerjaan
Memilih pekerjaan bagi perempuan juga tak ada larangan baik itu didalam atau diluar rumah, baik secara mandiri maupun kolektif, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta. Selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
c) Hak memperoleh pendidikan
Kalimat pertama yang diturunkan dalam Alqur’an adalah kalimat perintah untuk membaca( iqra’). Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya bagi kaum laki-laki tetapi juga perempuan karena “ menuntut ilmu difardlukan kepada kaum muslim baik laki-laki maupun perempuan”.
Post Feminisme dan Budaya Pop
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai mahluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini tidak dapat diterima perempuan muda era 90-an dan 2000-an di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat di “ibu” mereka di tahun 70-an didataran amerika dan inggris membuat generasi muda “bosan” dengan Feminisme. Feminisme seakan menjadi label halal untuk menuduh orang lain menjadi “tidak feminis” secara moral dan politik. Kelompok muda menjadi cikal bakal kelompok Post-Feminist. Para aktifis dalam periode post-feminisme menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat teks-teks ketertindasan perempuan . Kelompok ini membawa paradigma baru dalam feminisme,dari perdebatan seputar kesetaraan menuju perbedaan. Dan bagaimanakah perkembangan aliran feminisme di Indonesia? Sebagaian besar menganggap bahwa Indonesia masih mengalami euforia Feminisme. Dan layaknya euforia lainnya, terkesan norak dengan situasi yang baru, kaum feminist indonesia reaktif seperti halnya di barat pada era 60-an dan 70-an.
Adapun mengenai budaya POP dalam feminisme, tentunya terlalu luas bila harus dibahas dalam materi ini, mengambil contoh buku Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul Kajian Budaya Feminis: Tubuh,Sastra Dan Budaya Pop. Dalam pembahasan mengenai budaya pop dalam feminisme ada beberapa tema dan bisa dan harusnya di diskusikan lebih mendalam mengenai :
1. Komersialisasi tubuh perempuan (Seksualitas)
2. Komersialisasi tubuh perempuan dalam dunia entertain dan iklan.
3. Kapitalisasi perempuan dalam dunia fashion.
Secara prinsipil dan normatif islam menghargai,bahkan memberdayakan kaum perempuan. Namun dalam masyarakat terjadi konstruk yang mendiskriminasi perempuan. Untuk itu diperlukan upaya menegakkan keadilan dan merekonstruksi hubungan gender dalam islam secara lebih adil. Dengan ini menegaskan bahwa memperjuangkan posisi perempuan dalam islam sama sekali bukanlah perjuangan perempuan melawan laki-laki. Karena persoalan penindasan dan diskriminasi bukan persoalan kaum laki-laki, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan gender, yang salah satu legitimatornya adalah keyakinan agama yang bias gender yang perlu diusahakan adalah gerakan “transformasi” dan bukan gerakan untuk membalas dendam kepada kaum laki-laki, melainkan gerakan menciptakan suatu sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih adil.
Reference :
Kristeva,Nur Sayyid Santoso, M.A ”Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik”.Yogyakarta,INPHISOS,cetakan 7, 2010.
Mansour Fakih Et All ,”Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam”.
Dr.Phill dewi Candraningrum. Feminisme. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Aquarini Priyatna Prabasmoro ,”Kajian Budaya Feminis : Tubuh, Sastra Dan Budaya Pop”.
“Terdapat sebuah kebutuhan mendesak untuk menghapus mata rantai yang masih ada, dan paksaan-paksaan yang dengan keras membatasi kebebasan wanita sehingga ia mampu berpartisipasi secara dinamis dan efektif dalam membangun sebuah kehidupan baru” (Nawal El Sadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki)
Salam Pergerakan,,,!!!
di Tulis Oleh: Ulwiyatur Rif’ah
*Materi disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Sultan Hadlirin UNISNU Jepara, pada 28 Februari – 3 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar