A. Pendahuluan
Ketika kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Bung Karno sudah mengatakan bahwa kemerdekaan yang telah dicapai pada waktu itu barulah sebuah kemerdekaan politik, yang makna konkretnya adalah merdeka dari penjajahan. Proklamasi kemerdekaan pada hakikatnya adalah sebuah declaration of independence yang belum berarti tercapainya kondisi kemerdekaan atau kebebasan, yaitu kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan (dalam arti negatif) serta kebebasan berekspresi dan berserikat (dalam bentuk positif). Namun, kemerdekaan itu punya arti penting karena merupakan, sebagaimana kata Bung Karno, ”jembatan emas”: kesempatan menuju masyarakat adil dan makmur.
Setelah 68 tahun berlalu sejak hari yang bersejarah itu kenyataan masih mengisahkan dengan jelas bahwa rakyat kecil masih menderita karena kebijakan negara yang pro kapitalis. Menurut salah satu penelitian bahwa 80% kekayaan di indonesia ini hanya dikuasai oleh 200 orang, dan hanya 20% yang terdistribusi untuk kepentingan rakyat keadaan ini semakin menegaskan bahwa bangsa kita ternyata masih dalam keadaan terjajah.
Jhon Rennie Short menawarkan cara pandang untuk memahami penjajahan yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Menurutnya, Praktik penjajahan yang terjadi di masa lalu dan sekarang telah banyak berubah dan banyak modusnya. Namun, ada pola yang selalu sama.
Pola tersebut menyangkut tiga macam praktik. Pertama, negara penjajah memanfaatkan negeri jajahan sebagai penyedia bahan mentah. Kedua, bahan mentah diolah di negara penjajah, kemudian di jual lagi di negeri jajahan. Ketiga, negeri jajahan dijadikan area investasi oleh para pemodal yang berasal dari negara penjajah. Dengan kata lain, suatu negara dianggap terjajah jika memiliki status sebagai penyedia bahan mentah, pasar bagi barang jadi, dan area investasi bagi pemodal asing. Jika kita merenungi argumen Short di atas, akan jelas gambarannya bahwa Indonesia adalah negara jajahan. Ini lantaran Indonesia memenuhi segala parameternya.
Parameter pertama. Pada tahun 2012 lalu, PBB mencatat bahwa ekspor bahan mentah Indonesia ke luar negeri mencapai angka 62% dari total ekspor. Bahan mentah yang diekspor diantaranya adalah bahan mineral, minyak nabati, karet, abu logam, dll. Watak perekonomian seperti ini tidak ubahnya seperti ketika zaman penjajahan Belanda. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda menggalakkan ekspor bahan mentah hasil perkebunan dan pertambangan seperti getah karet, minyak sawit, minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan industri di Eropa. Bayangkan, enam puluh tujuh tahun republik ini merdeka, berkali-kali presiden berganti, watak perekonomian nasionalnya masih sama.
Parameter kedua. Selain eksportir bahan mentah, Indonesia merupakan pasar bagi produk industri luar negeri. Tidak perlu menggunakan data statistik. Cukup lihat saja di sekitar kita, berasal darimana barang-barang elektronik di rumah-rumah. Atau bila kita sedang terjebak kemacetan, sesekali mari kita renungkan darimana asal mobil motor yang berjubel di jalan raya. Handphone, komputer, laptop, alat kosmetik, obat-obatan yang ada disekitar kita dari mana asalnya.
Parameter ketiga. Menurut riset Nusantara Centre (2013), aset strategis kekayaan alam Indonesia sedang dikuasai oleh pemodal asing.
90% lapangan emas kita dikuasai asing (Freeport, Newmont, Pohang Iron and Steel, Barric Gold Corporation, Kinross Gold Corp.).
85% batubara dikuasai asing (PHI Group Inc, Coke Resource, China Invest Corp, Kupfer Produkte Gambh, Agape Metal Energy, United Metal Energy).
85% minyak bumi dikuasai asing (Chevron Pacific, Total EP, Conoco Philips, British Petroleum, Exxon Mobil, New Zealand Oil Gas Ltd, Salamander Energy Ltd, Petro China Ltd, Nico Resource).
85% gas alam, 75% timah, dan 80% tembaga kita juga dikuasai asing. Ini menunjukkan bahwa Indonesia ramah sekali dalam menarik investasi modal asing. Apalagi yang menyangkut dengan bisnis sumber daya alam.
Dalam konteks inilah kita sebagai generasi muda islam mempunyai kewajiban untuk melawan kedzoliman beserta segala jenis derivasinya yang menjelma dalam model penjajahan sekarang ini. Agama islam sebagai rahmatan lil alamin adalah nafas keberagamaan yang menuntut kita untuk mengamalkan, menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa harus selalu kita gelorakan, sebagai generasi penerus bangsa. Sebagai santri yang menjaga nilai-nilai keislaman tetap mampu berkelindan di realitas sosial dimana saja dan kapan saja, sebagai wujud khidmah kita pada nabi muhammad, walisongo, dan para kyai yang telah mendahului kita.
B. Rumusan Masalah
Dalam menghadapi realitas kebangsaan dewasa ini, kita sebagai generasi muda yang diberi kesempatan oleh tuhan untuk menyandang label yang sangat prestisius (konon dahulu), mempunyai tugas yang sangat mulia dan sekaligus berat untuk selalu berusaha istiqomah dalam melanjutkan tradisi dan nilai-nilai perjuangan yang telah di di lakukan oleh para founding fathers.
Berjuang bukanlah satu kata tanpa makna yang nasibnya sekarang tak jauh lebih baik dari para pejuang itu sendiri. Kata berjuang selalu memadati forum-forum ilmiah yang cenderung elitis, berbaris di pinggir-pinggir jalan dan bergantungan dipohon-pohon bersama gambar-gambar tidak bermutu, atau hanya sekedar ocehan tanpa tindakan. Perjuangan membutuhkan proses panjang, pengorbanan, dalam melakukan upaya perlawanan kepada segala jenis penjajahan.
Perjuangan membutuhkan modal baik berupa tenaga, pikiran, maupun sikap tergantung posisi yang kita pilih. Peran yang kita jalankan itulah nantinya akan menentukan tindakan serta gerakan selanjutnya. Namun tindakan kita dalam menyikapi suatu realitas tergantung pada kesadaran yang terbangun dalam alam bawah sadar kita. Merujuk pada teori friere bahwa kesadaran itu ada tiga tingkatan yaitu:
Kesadaran magic kesadaran ini lebih melihat faktor dari luar manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan
Kesadaran naif dalam hal ini “aspek manusia” yang menjadi akar permasalahan dalam masyarakat dan
Kesadaran kritis yang Menyadari struktur dan sistem sosial, politik ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Upaya mendekonstruksi kesadaran inilah yang melatar belakangi makalah ini berjudul ”Menyemai Benih-Benih Perlawanan”. Dan akan mencoba menjawab pertanyaan dibawah ini:
1) Aswaja madzab atau manhaj?
2) Apa dan kenapa memilih islam sebagai teologi pembebasan?
3) Analisis pemikiran tokoh
C. Pembahasan
a) Mengenal Aswaja
Istilah ahlussunah waljama’ah ini telah menjadi rebutan banyak kelompok, dengan argumenya masing- masing mereka mengklaim bahwa diri dan kelompoknya lah yang paling sahih untuk disebut aswaja. Mungkin karena berdasarkan pada suatu hadis (meski masih diperselisihkan kesahihanya) yang memberi informasi bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya akan masuk neraka kecuali satu yaitu “ma ana alaih wa ashabi” (yang mengikuti tradisi ku dan para sahabatku). Hadis ini dinilai lemah oleh sebagian ulama diantaranya adalah Ibnu Hazm karena didapati ada perawi yang dipandang dlaif, maka hadis ini tidak bisa dijadikan justifikasi atas sebuah persoalan.
Sebelum melakukan kajian yang lebih lanjut kita harus memahami dahulu apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah ahlussunah waljama’ah ini. Ada beberapa definisi tentang aswaja yang semuanya merujuk pada keberadaan teks hadis diatas diantaranya adalah sebagai berikut:
Ajaran dan pengamalan islam pada zaman rosulullah dan para sahabatnya, itulah assunah waljama’ah yang pengikutnya disebut ahlussunah waljama’ah.
Upaya pembaharuan aqidah yang dipelopori oleh imam al asyari dan almaturidi dalam rangka menyelamatkan umat dari kebingungan akibat indoktrinasi mu’tazilah secara intoleran.
Ajaran yang di bidang aqidah mengikuti abu hasan alasyari dan abu mansur almaturidi, dalam bertasawuf dengan faham imam ghazali dan abu qosim aljunaidi, dan mengikuti salah satu madzab empat dalam berfiqih.
Madzab yang mengajarkan kesejukan mengembangkan pemahaman yang sepakat untuk mendamaikan dunia keilmuan dengan dunia politik serta spiritualitas guna membangun peradaban islam.
NU sebagai organisasi yang berhaluan aswaja ini pun mengembangkan tradisi- tradisi yang moderat dalam beraqidah, syariah, dan tasawuf. Salah satu ciri faham ini adalah keseimbangan antara dalil naqliyah dan aqliyah keseimbangan semacam ini meniscayakan adanya sikap akomodatif dan toleran atas perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat karena pertimbangan waktu dan tempatnya selama perubahan tersebut tidak bertentangan dengan nash yang formal.
Mencermati pengertian diatas ada perbedaan yang sangat signifikan dalam memaknai istilah aswaja itu sendiri, yang satu berpandangan bahwa aswaja adalah ajaran baku dan menerima begitu saja prodak-prodak keilmuan dari para tokohnya yang kemudian menjelma menjadi suatu ideologi dan inilah yang sering disebut dengan aswaja sebagai madzab. Kelompok yang lain mengatakan bahwa aswaja adalah cara atau metode berfikir yang telah digariskan oleh para sahabat dan para muridnya yaitu generasi tabi’in yang mempunyai intelektuaitas tinggi dan relatif ntral dalam menyikapi situasi politik saat itu.
b) Latar Belakang Kemunculan Aswaja
Sebagai suatu paradigma keagamaan kehadiran aswaja tidak terlepas dari latar belakang dinamika sosial politik waktu itu. Secara singkat bisa ketahui bahwa islam diturunkan oleh Allah bukan ditempat yang netral dan hampa dari pengaruh budaya dan tradisi kemasyarakatan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisialamnya. Islam datang dilingkungan arab yang orang-orangnya punya watak keras, fanatik, labil, serta sulit untuk disatukan. Kondisi semacam itu meniscayakan bangsa arab sangat kuat solidritasnya intern kabilah namun juga sangat sensitif dan gampang bermusuhan antar kabilah.
Berkat kecerdikan dan segala keistimewaan nabi lah selama 23 tahun mampu merubah tradiisi fanatik kabilah menjadi fanatisme keagamaan. Namun ternyata persatuan mereka atas nama agama kembali teruji ketika nabi wafat, mulaikelihatan lagi atak asli bangsa arab yang fanatik kesukuan dan labil, hal ini bisa kita ketahui ketika jenazah rosul belum di makamkan terjadi rapat di Bani Saqifah ang berdebat tentang pengganti rosul sebagai pemimpin, perdebatan mina amir waminkum amir menunjukkan semangat kesukuan belum hilang sama sekali.
Begitu juga keberlangsungan kepemimpinan khulafaurrosyidin dengan segala tantangan yang menyertainya, dan kecuali Abu Bakar ketiga sahabat beliau yang telah dijamin masuk surga itu wafat karena terbunuh dengan latar belakang intrik kekuasaan. Gejala perpecahan itu memang sudah terasa seja nabi muhammad aeat dn mencapai puncaknya ketika terjadi perang shifin antara pihak Ali dan Mu’awiyah yang berakhir dengan tahkim (perjanjian damai, meskipun waktu itu bisa dipastikan bahwa kemenangan telah ada di pihak ali namun berbalik seratus delapan puluh derajat karena muslihat pihak mu’awiyah.
Setelah perang shiffin kegaduhan dimasyarakat berdimensi politik kembali melanda, muncul berbagai pertanyaan yang menyoal tentang perang jamal dan perang shiffin, kelompok yang keluar dari kelompok ali karena tidak menyetujui perdamaian dengan mu’awiyah yang menjadi cikal bakal khowarij mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat dalam perang tersebut adalah kafir, pelaku zina kafir, meninggalkan sholat kafir karena bagi mereka iman tidak hanya sekedar ketetapan hati tapi juga harus terimplementasi dalam tindakan nyata. Akibat dari paradigma puritan yang formalistik ini banyak sahabat yang dikafirkan termasuk Usman, Ali, Aisyah dan Mu’awiyah.
Adapun kelompok yang setia terhadap ali juga terjebak pada pengkultusan dan fanatisme yang berlebihan pada sahabat yang satu ini, dengan merujuk pada hadis yang menegaskan bahwa ali adalah pintu gerbang untuk mempelajari ajaran-ajaran nabi. Juga disebarkan bahwa sebetulnya yang mendapatkan wahyu adalah ali sedangkan Muhammad hanya sebagai jubirnya. Dan disinilah kelahiran dua sekte lahir yang kita kenal sampai saat ini yaitu khowarij dan syi’ah. Satu lagi gerakan yang sebetulnya politis namun dibalut dengan pandekatan agama yaitu ajaran yang disebarkan oleh Mu’awiyah Bin Sofyan kepada masyarakat yang sudah mulai menilai dirinya berbuat curang, dengan aqidah fatalistik bahwa semua yang telah terjadi adalah kehendak illahi yang harus kita terima termasuk kemenanganya atas ali menunjukkan bahwa Allah telah meridloi dirinya menjadi khalifah, yang kemudian hari ajaran ini popular dengan sebutan jabariyah.
Respon pemikiran lain yang mengcounter pemikiran fatalistik tersebut adalah kajian yang dilakukan oleh Muhammad bin Ali yang menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi karena kelakuan manusia Allah tidak ikut campur, kezaliman adalah tanggung jawab yang berbuat, tidak ada sangkut pautnya dengan Allah. Reaksi intelektual atas jabariyah inilah yang disebut dengan qodariyah, dan salah satu yang rutin mengikuti kajian ini adalah Washil Bin Atha’ yang kemudian pulang ke basrah dan mempopulerkan ajaran mu’tazilah setelah tidak puas dengan jawaban Hasan Al Basri dalam suatu pengajian yang menanyakan tentang hukumnya pelaku dosa besar. Tempat diantara dua tempat adalah salah satu ajaranya. Dalam keadaan yang semakin kacau setelah terbunuhnya hussain di karbala, mencari kebenaran semakin sulit karena semua konflik berlatar politik. Disituasi yang seperti itu muncullah tokoh tabi’in yang masih berfikiran jernih dan stabil salah satunya adalah abu hanifah yang menekankan harus kembali ke alqur’an dalam mencari kebenaran dengan mengemukakan ayat 54 surat al hajj” dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. Kebenaran harus dicari dengan nalar, kemudian di imani. Dari sinilah muncul teori-teori kebenaran yang memahami alqur’an ada yang cersifat doktrin tanpa mempertanyakan pada rasio seperti ibadah-ibadah mahdloh, dan ada juga yang membutuhkan penalaran lebih lanjut.
Mu’tazilah menjadi faham resmi Negara setelah al ma’mun menggantikan ayahnya (Harun Al Rasyid) menjadi khalifah. Faham yang awalnya positif ini juga terjebak pada liberalisasi yang anarkis dan cenderung mendewakan rasio. Pamaksaan yang dilakukan terhadap rakyatnya untuk mengikuti faham ini kontradiktif dengan semangat kebebasan berfikir yang didengungkanya. Akhirnya rakyat pun mulai jenuh dengan keadan seperti ini yang berlangsung selama tiga generasi (Al Ma’mun- Al Muktasim- Wafiq). Setelah itu al mutawakkil menjadi khalifah, menyadari rakyat sudah mulai benci dengan mu’tazilah segera dia mengumumkan bahwa bukan lagi menjadi faham resmi Negara, dan digantilah qodli dengan yang tidak terlalu liberal.
Dalam situasi seperti ini akhirnya muncullah tokoh yang bernama Abu Hasan Al Asyari yang meneruskan tradisi berfikir ala abu hanifah. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ahlu sunnah waljama’ah adalah suatu system atau cara yang kembaki pada ayat 54 surat Al-Hajj, lepas dari madazab atau partainya apa. Dengan demikian aswaja sebagai madzab yang bisa kit baca dokumenya secara jelas tidak ada.
c) Aswaja Sebagai Manhaj Alfikr
Sebelum Munas NU di lampung tahun 1992 wacana mainstream di kalangan NU adalah memposisikan aswaja sebagai madzab (totalitas system dan doktrin keagamaan yang bersifat sakral). Setelah Munas ini mulai muncul wacana aswaja sebagai metode berfikir. Dikalangan muda NU khususnya PMII malah lebih dari itu dengan melakukan terobosan-terobosan yang bernuansa liberal. Di komunitas LKiS berkembang wacana aswaja sebagai system pengetahuan yang bebas diperdebatkan dan di kritik. Menurut Nuruddin Amin setidaknya diperlukan lima hal yaitu:
1) Interpretasi ulang teks-teks fiqih yang lama untuk menemukan konteksnya yang baru
2) Bermadzab harus secara manhaji
3) Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok dan mana yang cabang
4) Fiqih harus dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif Negara
5) Perlunya pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial dan budaya.
Prototype wacana keagamaan yang berkembang di PMII adalah transformative dan toleran, yang terimplementasikan dalam praktek kehidupan yang berprinsip pada ukhuwah islamiyah, wathoniyah dan bashariyah. Diatas solidaritas ini meniscayakan dialog antar umat beragama yang menempatkan solidaritas kebangsaan diatas kepentingan golongan. Pemahaman seperti ini berbeda dengan kalangan islam modernis yang mempunyai jargon kembali ke alqur’an dan hadist, serta mengutamakan symbol dan formalitas. Disatu sisi PMII tetap mempunyai ikatan dengan tradisi NU, namun disisi lain PMII melampaui batas tradisionalismenya yang melalui kajian semiotiknya membongkar pemahaman-pemahaman lama dibalik tafsir yang sudah melembaga. Tradisi semacam ini yang membuat PMII akrab dengan tokoh-tokoh pemikir islam seperti Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Ali Syari’ati, Nasr Hamid Abu Zayd dll.
Dari uraian di atas terdapat dua konsep utama mengenai aswaja yaitu sebagai madzhab dan aswaja sebagai manhaj al-fikr. Perbedaan mendasar antara keduanya, konsep pertama meletakkan fiqih sebagai sebuah kebenaran ortodoksi, dan senantiasa berusaha menundukkan realitas sosial dengan dalil-dalil tekstual. sedangkan konsep kedua menempatkan fiqih sebagai strategi untuk melakukan interpretasi sosial, dan menempatkan fiqih sebagai lawan diskusi (counter discourse) dalam melakukan pencarian dan penemuan ragam permasalahan sosial yang tengah berlangsung. Bahan-bahan rujukan dipersiapkan secara lintas batas antar madzhab guna menemukan materi jawaban permasalahan yang sedang dicari solusinya.
Menganggap aswaja sebagai madzab menemukan kebuntuan dalam mencari berbagai macam pemecahan atas munculnya beragam permasalahan sosial. Hal semacam ini menimbulkan dumnia pemikiran mengalami ‘kejumudan’ dan cenderung tidak berkembang. Selain tidak terbiasa melintas rujukan antar barbagai macam madzhab, faktor kemampuan serta keterbatasan referensi menambah alasan yang kuat untuk tetap berada pada pemahaman aswaja menurut makna pertama. Dampaknya muncul sikap pasif, karena ada kekhawatiran mendapat ‘marah atau teguran’ dari para Kyai (masyayih) terhadap hasil kajiannya yang mungkin dianggap ‘menyesatkan’.
Kondisi semacam inilah yang tengah melanda dunia pergerakan akhir-akhir ini, minimnya tradisi-tradisi intelektual seperti membaca, diskusi, menulis semakin menjauhkan kader dari salah satu identitas gerakanya dengan kredo ”free market of ideas” yang tidak mengakui kebenaran tunggal, setiap kebenaran akan di uji dan di seleksi. Karena setiap kebenaran bersifat sementara dan sangat mungkin untuk diverifikasi hingga muncul teori kebenaran selanjutnya.
d) Islam Dan Realitas Keberagamaan
Ketakutan hanyalah bayang-bayang yang sangat menakutkan
Memang keberanian harus dilatih kawan
Kalau tidak kita akan selalu ditindas
Penindasan itu akan selalu datang
Penindasan demi penindasan
Kalau kita tidak berani melawan bayang-bayang matilah kita dalam sebuah proses kehidupan
(Wiji Thukul, Sajak Bintang Merah)
Menghadapi kenyataan praktek keberagamaan yang semakin dangkal, dan menindas mungkin petikan puisi sang maestro perlawanan lewat sajaknya itu perlu kita gelorakan kembali, kita perdengarkan ke nurani generasi muda yang terjebak dalam belitan budaya pop masa kini. Problem yang sedang terjadi sekarang adalah soal penafsiran. Tafsir seperti apa yang mampu memberikan landasan normative dan ideologis bagi umat beragama untuk menghadapi kenyataan ekonomi yang semakin represif. Pasar bebas menjadi salah satu konsep perdagangan yang mempunyai logika sendiri melampaui batas-batas territorial Negara. Pasar disini bukan hanya kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa saja, namun jauh dari itu yang terjadi adalah kebebasan untuk saling memangsa, saling mematikan dan memaksa Negara sebagai penonton dan pemberi obat penenang yang bersifat sementara kepada rakyatnya yang tersungkur karena tak kuasa menghadapi kerakusan para pemodal.
Kebijakan dan aturan Negara yang seharusnya memihak pada rakyat, telah diamputasi secara dini oleh kapital dan elit politik negeri yang masih saja bemental bandit. Kemiskinan tidak pernah datang dari langit, tetapi mengudara dari srtuktur yang membatu di bumi. Tidak ada satupun Negara didunia ini diproklamirkan tanpa cita-cita abadi dan luhur. Begitu pula Indonesia dalam pembukaan UU 1945 jelas tersurat bahwa tugas Negara adalah menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Negeri yang katanya dihuni oleh sebagian besar umat islam dunia ini telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan penghinaan yang berlebihan, bagaimanana tidak setiap hari kita mengetahui secara massif satu persatu pelaku korupsi ditangkap oleh KPK. Ditengah sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya, dengan pongahnya para pejabat dan memamerkan kemewahan dan kekayaanya. Sebagian besar penceramah agama hanya memproduksi kesadaran palsu bagi umatnya dalam menghadapi kegetiran hidup di nusantara ini. Sabar dan do’a menjadi obat mujarab luka karena bencana baik itu bencana alam maupun bencana kemanusiaan. Bukankah kita juga telah mengetahui bahwa risalah pembebasan para nabi juga datang dengan melawan system yang sudah mapan, karena system yang ada telah melukai rasa keadilan.
Agama berubah menjadi budaya yang mengutamakan symbol dan formalitas semata, dengan dukungan media kapitalisme dengan liciknya menciptakan surganya sendiri dengan syarat umat beragama rajin dalam melaksanakan ritual namun kosong dalam bentuk nilai dan pengamalan yang berdimensi kemanusiaan dan kehidupan sosial. Ini bisa kita lihat semangat umat islam Indonesia untuk wisata religi dikota suci sampai bekali-kali menambah daftar tunggu keberangkatanya hingga sepuluh hingga lima belas tahun kemudian. Siapa yang diuntungkan dengan gejala keagamaan seperti ini jelas bukan tetangga yang miskin itu, tapi maskapai penerbangan, dunia perbankan, KBIH dan banyak lagi dimensi ekonomi yang memang sengaja di ciptakan oleh pemodal untuk meraup keuntungan dari praktek agama yang mengutamakan ritual.
Misi islam sebagai rahmatan lilalamin, meciptakan keadilan, tidak akan tercapai dengan gaya keberagaman yang seperti ini. Kesadaran magic dan naïf masih mendominasi, ketidak mampuan membaca realitas penindas dan tertindas menjadi tumpul seakan agama tak berdaya menjawab persoalan ini. Disinilah konsep islam sebagai teolohgi pembebasan menemukan urgensitasnya dan relevansinya untuk kita kaji sebagai landasan berfikir dan beramal bagi warga pergerakan untuk tetap melawan rezim yang dholim demi terciptanya negeri yang kita cita-citakan yaitu baldatun toyyibatun warabbul ghofur.
e) Islam Dan Teologi Pembebasan
Tidak ada Nabi yang datang untuk mengokohkan status quo, karena gerak kenabian di dalam sejarah selalu merupakan gerak progesif bagi perubahan sosial secara keseluruhan, terlebih dalam dimensi keyakinan dan moralitas umat manusia. Para Nabi merupakanguru dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan menuju ke taraf yang lebih tinggi dan sempurna. Akhir kenabian ditandai bahwa kemanusiaan telah termanifestasikan menjadi kemandirian akal dan berkemampuan meningkatkan derajat progesifitasnya sendiri melalui petunjuk yang berupa wahyu dari Allah SWT.
Begitu juga islam, Perjuangan Muhammad SAW melawan ketidakadilan menuju terciptanya masyarakat tanpa kelas berangkat dari setting sosial masyarakat Arab pra-Islam yang diskriminatif. Ajaran Islam yang dibawanya mengajarkan kesederajatan di antara sesama, karena yang membedakan hanya nilai ketakwaan dari setiap individu. Dantradisi serupa itupun menjadi tradisi yang melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan.
Pada mulanya istilah teologi pembebasan atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin. Teologi pembebasan adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan. (Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah baru yang muncul di akhir abad 20 M. Namun sebenanarnya secara esensial, wacana ini telah ada sejak Islam lahir. Karena Islam lahir guna membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sitem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, poligami dan poliandri tanpa batas/aturan, dan lain-lain).
Istilah teologi pembebasan lahir kemudian setelah muncul wacana Marxis, sebagai bentuk perjuangan kelas kaum ploletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis. Namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan mengacu kepada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Teologi pembebasan sendiri lahir guna merombak paradigma berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syar’i yang tertuang dalam teks nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist) hanya sebagai sebagai rutinitas agama (sebatas aturan hukum fiqh), bukan menjadi suatu sitem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menginspirasi umat Islam dalam kehidupan keseharianya. Semisal dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar, selama ini landasan tersebut hanya diimplementasikan dalam tatanan fiqh (shalat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esensial dari tataran fiqh tersebut tak terimplementasikan dengan sempurna dalam ranah sosial.
Asghar ali enginer
• Bahwa Islam adalah agama pembebasan, bagi Engineer, merupakan keniscayaan historis semenjak ia dilahirkan di semenanjung Arab. Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan yang mengancam struktur penindas baik di dalam maupun di luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), keadilan sosial (social justice).
• Agama adalah spirit untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan, tauhid kita yang hanya mengajarkan ketertundukan kita hanya pada sang khaliq meniscayakan kita untuk melawan tuhan-tuhan palsu yang diciptakan oleh penindas demi meneguhkan hegemoninya
Ali syari’ati
• Tokoh yang ikut mengarsiteki revolusi iran bersana imam khomaini terkenal dengan gagasanya yang bernuansa pembaharuan terhadap pemikiran umat. Kemajuan tidak akan kita dapatkan ketika kita masih terperangkap pada pemikiran yang hanya bersifat eksatologis.
• Pemikiran keagamaan harus direkonstruksi dan berpegang pada semangat islam sebagaiman awal diturunkan.
• Agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.
• Ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi dengan pernyataan. Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental. Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.
Hassan hanafi
Tokoh yang terkenal dengan istilah kiri islam ini adalah seorang filosof, doktor alumni sorbone perancis ini mengajar di universitas kairo. Setelah beliau menerbitkan jurnal yang bernama ”al yasar al islami”. Sebelumnya Istilah kiri mulai dikenal setelah revolusi perancis, kelompok radikal selalu mengambil tempat sebelah kiri dari kursi ketua konggres nasional. Sejak itulah kiri selalu di identikkan dengan partai maupun gerakan-gerakan yang bersifat progresif, revolusioner. Dalam terminology politik kiri berarti perjuangan dan kritisisme. Hassan Hanafi berpendapat bahwa secara sedrehana kiri islam harus bertumpu pada tiga pilar yaitu:
• Revitalisasi khazanah islam klasik dengan lebih menekankan pada rasionalisme, karena rasionalisme merupakan suatu keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan dalam kehidupan umat.
• Perlunya mengadakan perlawanan terhadap imperalisme budaya barat, yang cenderung destruktif dan menghancurkan eksistensi budaya-budaya lokal.
• Analisis terhadap realitas dunia islam dengan metode kontemporer dan meninggalkan metode tradisional yang hanya berdasarkan teks semata.
Semangat perlawanan harus terus dikobarkan karena realitas umat islam sekarang sedang mengalami ancaman baik dari luar yang berupa imperalisme, kapitalisme, dan zionisme, maupun dari dalam yang berupa kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan.
D. Kesimpulan
Paradigma kita terhadap suatu teks maupun realitas sosial akan mempengaruhi tindakan kita selanjutnya, begitupun juga cara pandang kita terhadap ajaran agama yang kita yakini. Sejarah telah membuktikan hanya dengan perlawanan lah keadilan sebagaimana spirit islam akan kembali memenuhi bumi allah ini, tradisi-tradisi intelektual adalah mata rantai pengetahuan yang tak boleh terputus dalam rangka menggapai cita-cita tersebut. Dan akhirnya sebagai warga pergerakan kita punya kewajiban untuk selalu melanjutkan tradisi-tradisi perlawanan pada kolinial, sebagai wujud penghormatan kita kepada para salafusholih yang telah mendahului kita serta implementasi dari komitmen beragama.
E. Daftar pustaka
Baehaqi Imam, Kontroversi Aswaja, ( Yogyakarta, LKIS, 2000)
Dzakiri, Hanif Post-Tradisionalisme Islam, (Jakarta, ISISINDO MEDIATAMA, 2000)
Engineer , Asghar Islam and Liberation Theology, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Jhon Rennie Short , An Introduction to Political Geography (1993)
Mahfudh Sahal , Nuansa Fiqih Sosial, ( Yogyakarta, L KIS,1994),
Muzadi Muchit, Mengenal Nahdlotul Ulama, ( Surabaya, Khalista, 2004)
Nikki R Keddie, Root of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran (New Haven: Yale University
Prasetyo Eko, Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial, (Yogyakarta, INSIST,2003),
Syari’ati Ali, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1982)
Shimogaki Kazoo, Kiri Islam Antara Medernisme dan Post Modernism Tela’ah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi
Syari’ati Ali, Imamah Dan Ummah, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1989),
Sunyoto Agus, Atlas Wali Songo, ( Jakarta, Pustaka Iman, 2012)
Ketika kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Bung Karno sudah mengatakan bahwa kemerdekaan yang telah dicapai pada waktu itu barulah sebuah kemerdekaan politik, yang makna konkretnya adalah merdeka dari penjajahan. Proklamasi kemerdekaan pada hakikatnya adalah sebuah declaration of independence yang belum berarti tercapainya kondisi kemerdekaan atau kebebasan, yaitu kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan (dalam arti negatif) serta kebebasan berekspresi dan berserikat (dalam bentuk positif). Namun, kemerdekaan itu punya arti penting karena merupakan, sebagaimana kata Bung Karno, ”jembatan emas”: kesempatan menuju masyarakat adil dan makmur.
Setelah 68 tahun berlalu sejak hari yang bersejarah itu kenyataan masih mengisahkan dengan jelas bahwa rakyat kecil masih menderita karena kebijakan negara yang pro kapitalis. Menurut salah satu penelitian bahwa 80% kekayaan di indonesia ini hanya dikuasai oleh 200 orang, dan hanya 20% yang terdistribusi untuk kepentingan rakyat keadaan ini semakin menegaskan bahwa bangsa kita ternyata masih dalam keadaan terjajah.
Jhon Rennie Short menawarkan cara pandang untuk memahami penjajahan yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Menurutnya, Praktik penjajahan yang terjadi di masa lalu dan sekarang telah banyak berubah dan banyak modusnya. Namun, ada pola yang selalu sama.
Pola tersebut menyangkut tiga macam praktik. Pertama, negara penjajah memanfaatkan negeri jajahan sebagai penyedia bahan mentah. Kedua, bahan mentah diolah di negara penjajah, kemudian di jual lagi di negeri jajahan. Ketiga, negeri jajahan dijadikan area investasi oleh para pemodal yang berasal dari negara penjajah. Dengan kata lain, suatu negara dianggap terjajah jika memiliki status sebagai penyedia bahan mentah, pasar bagi barang jadi, dan area investasi bagi pemodal asing. Jika kita merenungi argumen Short di atas, akan jelas gambarannya bahwa Indonesia adalah negara jajahan. Ini lantaran Indonesia memenuhi segala parameternya.
Parameter pertama. Pada tahun 2012 lalu, PBB mencatat bahwa ekspor bahan mentah Indonesia ke luar negeri mencapai angka 62% dari total ekspor. Bahan mentah yang diekspor diantaranya adalah bahan mineral, minyak nabati, karet, abu logam, dll. Watak perekonomian seperti ini tidak ubahnya seperti ketika zaman penjajahan Belanda. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda menggalakkan ekspor bahan mentah hasil perkebunan dan pertambangan seperti getah karet, minyak sawit, minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan industri di Eropa. Bayangkan, enam puluh tujuh tahun republik ini merdeka, berkali-kali presiden berganti, watak perekonomian nasionalnya masih sama.
Parameter kedua. Selain eksportir bahan mentah, Indonesia merupakan pasar bagi produk industri luar negeri. Tidak perlu menggunakan data statistik. Cukup lihat saja di sekitar kita, berasal darimana barang-barang elektronik di rumah-rumah. Atau bila kita sedang terjebak kemacetan, sesekali mari kita renungkan darimana asal mobil motor yang berjubel di jalan raya. Handphone, komputer, laptop, alat kosmetik, obat-obatan yang ada disekitar kita dari mana asalnya.
Parameter ketiga. Menurut riset Nusantara Centre (2013), aset strategis kekayaan alam Indonesia sedang dikuasai oleh pemodal asing.
90% lapangan emas kita dikuasai asing (Freeport, Newmont, Pohang Iron and Steel, Barric Gold Corporation, Kinross Gold Corp.).
85% batubara dikuasai asing (PHI Group Inc, Coke Resource, China Invest Corp, Kupfer Produkte Gambh, Agape Metal Energy, United Metal Energy).
85% minyak bumi dikuasai asing (Chevron Pacific, Total EP, Conoco Philips, British Petroleum, Exxon Mobil, New Zealand Oil Gas Ltd, Salamander Energy Ltd, Petro China Ltd, Nico Resource).
85% gas alam, 75% timah, dan 80% tembaga kita juga dikuasai asing. Ini menunjukkan bahwa Indonesia ramah sekali dalam menarik investasi modal asing. Apalagi yang menyangkut dengan bisnis sumber daya alam.
Dalam konteks inilah kita sebagai generasi muda islam mempunyai kewajiban untuk melawan kedzoliman beserta segala jenis derivasinya yang menjelma dalam model penjajahan sekarang ini. Agama islam sebagai rahmatan lil alamin adalah nafas keberagamaan yang menuntut kita untuk mengamalkan, menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa harus selalu kita gelorakan, sebagai generasi penerus bangsa. Sebagai santri yang menjaga nilai-nilai keislaman tetap mampu berkelindan di realitas sosial dimana saja dan kapan saja, sebagai wujud khidmah kita pada nabi muhammad, walisongo, dan para kyai yang telah mendahului kita.
B. Rumusan Masalah
Dalam menghadapi realitas kebangsaan dewasa ini, kita sebagai generasi muda yang diberi kesempatan oleh tuhan untuk menyandang label yang sangat prestisius (konon dahulu), mempunyai tugas yang sangat mulia dan sekaligus berat untuk selalu berusaha istiqomah dalam melanjutkan tradisi dan nilai-nilai perjuangan yang telah di di lakukan oleh para founding fathers.
Berjuang bukanlah satu kata tanpa makna yang nasibnya sekarang tak jauh lebih baik dari para pejuang itu sendiri. Kata berjuang selalu memadati forum-forum ilmiah yang cenderung elitis, berbaris di pinggir-pinggir jalan dan bergantungan dipohon-pohon bersama gambar-gambar tidak bermutu, atau hanya sekedar ocehan tanpa tindakan. Perjuangan membutuhkan proses panjang, pengorbanan, dalam melakukan upaya perlawanan kepada segala jenis penjajahan.
Perjuangan membutuhkan modal baik berupa tenaga, pikiran, maupun sikap tergantung posisi yang kita pilih. Peran yang kita jalankan itulah nantinya akan menentukan tindakan serta gerakan selanjutnya. Namun tindakan kita dalam menyikapi suatu realitas tergantung pada kesadaran yang terbangun dalam alam bawah sadar kita. Merujuk pada teori friere bahwa kesadaran itu ada tiga tingkatan yaitu:
Kesadaran magic kesadaran ini lebih melihat faktor dari luar manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan
Kesadaran naif dalam hal ini “aspek manusia” yang menjadi akar permasalahan dalam masyarakat dan
Kesadaran kritis yang Menyadari struktur dan sistem sosial, politik ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Upaya mendekonstruksi kesadaran inilah yang melatar belakangi makalah ini berjudul ”Menyemai Benih-Benih Perlawanan”. Dan akan mencoba menjawab pertanyaan dibawah ini:
1) Aswaja madzab atau manhaj?
2) Apa dan kenapa memilih islam sebagai teologi pembebasan?
3) Analisis pemikiran tokoh
C. Pembahasan
a) Mengenal Aswaja
Istilah ahlussunah waljama’ah ini telah menjadi rebutan banyak kelompok, dengan argumenya masing- masing mereka mengklaim bahwa diri dan kelompoknya lah yang paling sahih untuk disebut aswaja. Mungkin karena berdasarkan pada suatu hadis (meski masih diperselisihkan kesahihanya) yang memberi informasi bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya akan masuk neraka kecuali satu yaitu “ma ana alaih wa ashabi” (yang mengikuti tradisi ku dan para sahabatku). Hadis ini dinilai lemah oleh sebagian ulama diantaranya adalah Ibnu Hazm karena didapati ada perawi yang dipandang dlaif, maka hadis ini tidak bisa dijadikan justifikasi atas sebuah persoalan.
Sebelum melakukan kajian yang lebih lanjut kita harus memahami dahulu apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah ahlussunah waljama’ah ini. Ada beberapa definisi tentang aswaja yang semuanya merujuk pada keberadaan teks hadis diatas diantaranya adalah sebagai berikut:
Ajaran dan pengamalan islam pada zaman rosulullah dan para sahabatnya, itulah assunah waljama’ah yang pengikutnya disebut ahlussunah waljama’ah.
Upaya pembaharuan aqidah yang dipelopori oleh imam al asyari dan almaturidi dalam rangka menyelamatkan umat dari kebingungan akibat indoktrinasi mu’tazilah secara intoleran.
Ajaran yang di bidang aqidah mengikuti abu hasan alasyari dan abu mansur almaturidi, dalam bertasawuf dengan faham imam ghazali dan abu qosim aljunaidi, dan mengikuti salah satu madzab empat dalam berfiqih.
Madzab yang mengajarkan kesejukan mengembangkan pemahaman yang sepakat untuk mendamaikan dunia keilmuan dengan dunia politik serta spiritualitas guna membangun peradaban islam.
NU sebagai organisasi yang berhaluan aswaja ini pun mengembangkan tradisi- tradisi yang moderat dalam beraqidah, syariah, dan tasawuf. Salah satu ciri faham ini adalah keseimbangan antara dalil naqliyah dan aqliyah keseimbangan semacam ini meniscayakan adanya sikap akomodatif dan toleran atas perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat karena pertimbangan waktu dan tempatnya selama perubahan tersebut tidak bertentangan dengan nash yang formal.
Mencermati pengertian diatas ada perbedaan yang sangat signifikan dalam memaknai istilah aswaja itu sendiri, yang satu berpandangan bahwa aswaja adalah ajaran baku dan menerima begitu saja prodak-prodak keilmuan dari para tokohnya yang kemudian menjelma menjadi suatu ideologi dan inilah yang sering disebut dengan aswaja sebagai madzab. Kelompok yang lain mengatakan bahwa aswaja adalah cara atau metode berfikir yang telah digariskan oleh para sahabat dan para muridnya yaitu generasi tabi’in yang mempunyai intelektuaitas tinggi dan relatif ntral dalam menyikapi situasi politik saat itu.
b) Latar Belakang Kemunculan Aswaja
Sebagai suatu paradigma keagamaan kehadiran aswaja tidak terlepas dari latar belakang dinamika sosial politik waktu itu. Secara singkat bisa ketahui bahwa islam diturunkan oleh Allah bukan ditempat yang netral dan hampa dari pengaruh budaya dan tradisi kemasyarakatan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisialamnya. Islam datang dilingkungan arab yang orang-orangnya punya watak keras, fanatik, labil, serta sulit untuk disatukan. Kondisi semacam itu meniscayakan bangsa arab sangat kuat solidritasnya intern kabilah namun juga sangat sensitif dan gampang bermusuhan antar kabilah.
Berkat kecerdikan dan segala keistimewaan nabi lah selama 23 tahun mampu merubah tradiisi fanatik kabilah menjadi fanatisme keagamaan. Namun ternyata persatuan mereka atas nama agama kembali teruji ketika nabi wafat, mulaikelihatan lagi atak asli bangsa arab yang fanatik kesukuan dan labil, hal ini bisa kita ketahui ketika jenazah rosul belum di makamkan terjadi rapat di Bani Saqifah ang berdebat tentang pengganti rosul sebagai pemimpin, perdebatan mina amir waminkum amir menunjukkan semangat kesukuan belum hilang sama sekali.
Begitu juga keberlangsungan kepemimpinan khulafaurrosyidin dengan segala tantangan yang menyertainya, dan kecuali Abu Bakar ketiga sahabat beliau yang telah dijamin masuk surga itu wafat karena terbunuh dengan latar belakang intrik kekuasaan. Gejala perpecahan itu memang sudah terasa seja nabi muhammad aeat dn mencapai puncaknya ketika terjadi perang shifin antara pihak Ali dan Mu’awiyah yang berakhir dengan tahkim (perjanjian damai, meskipun waktu itu bisa dipastikan bahwa kemenangan telah ada di pihak ali namun berbalik seratus delapan puluh derajat karena muslihat pihak mu’awiyah.
Setelah perang shiffin kegaduhan dimasyarakat berdimensi politik kembali melanda, muncul berbagai pertanyaan yang menyoal tentang perang jamal dan perang shiffin, kelompok yang keluar dari kelompok ali karena tidak menyetujui perdamaian dengan mu’awiyah yang menjadi cikal bakal khowarij mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat dalam perang tersebut adalah kafir, pelaku zina kafir, meninggalkan sholat kafir karena bagi mereka iman tidak hanya sekedar ketetapan hati tapi juga harus terimplementasi dalam tindakan nyata. Akibat dari paradigma puritan yang formalistik ini banyak sahabat yang dikafirkan termasuk Usman, Ali, Aisyah dan Mu’awiyah.
Adapun kelompok yang setia terhadap ali juga terjebak pada pengkultusan dan fanatisme yang berlebihan pada sahabat yang satu ini, dengan merujuk pada hadis yang menegaskan bahwa ali adalah pintu gerbang untuk mempelajari ajaran-ajaran nabi. Juga disebarkan bahwa sebetulnya yang mendapatkan wahyu adalah ali sedangkan Muhammad hanya sebagai jubirnya. Dan disinilah kelahiran dua sekte lahir yang kita kenal sampai saat ini yaitu khowarij dan syi’ah. Satu lagi gerakan yang sebetulnya politis namun dibalut dengan pandekatan agama yaitu ajaran yang disebarkan oleh Mu’awiyah Bin Sofyan kepada masyarakat yang sudah mulai menilai dirinya berbuat curang, dengan aqidah fatalistik bahwa semua yang telah terjadi adalah kehendak illahi yang harus kita terima termasuk kemenanganya atas ali menunjukkan bahwa Allah telah meridloi dirinya menjadi khalifah, yang kemudian hari ajaran ini popular dengan sebutan jabariyah.
Respon pemikiran lain yang mengcounter pemikiran fatalistik tersebut adalah kajian yang dilakukan oleh Muhammad bin Ali yang menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi karena kelakuan manusia Allah tidak ikut campur, kezaliman adalah tanggung jawab yang berbuat, tidak ada sangkut pautnya dengan Allah. Reaksi intelektual atas jabariyah inilah yang disebut dengan qodariyah, dan salah satu yang rutin mengikuti kajian ini adalah Washil Bin Atha’ yang kemudian pulang ke basrah dan mempopulerkan ajaran mu’tazilah setelah tidak puas dengan jawaban Hasan Al Basri dalam suatu pengajian yang menanyakan tentang hukumnya pelaku dosa besar. Tempat diantara dua tempat adalah salah satu ajaranya. Dalam keadaan yang semakin kacau setelah terbunuhnya hussain di karbala, mencari kebenaran semakin sulit karena semua konflik berlatar politik. Disituasi yang seperti itu muncullah tokoh tabi’in yang masih berfikiran jernih dan stabil salah satunya adalah abu hanifah yang menekankan harus kembali ke alqur’an dalam mencari kebenaran dengan mengemukakan ayat 54 surat al hajj” dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. Kebenaran harus dicari dengan nalar, kemudian di imani. Dari sinilah muncul teori-teori kebenaran yang memahami alqur’an ada yang cersifat doktrin tanpa mempertanyakan pada rasio seperti ibadah-ibadah mahdloh, dan ada juga yang membutuhkan penalaran lebih lanjut.
Mu’tazilah menjadi faham resmi Negara setelah al ma’mun menggantikan ayahnya (Harun Al Rasyid) menjadi khalifah. Faham yang awalnya positif ini juga terjebak pada liberalisasi yang anarkis dan cenderung mendewakan rasio. Pamaksaan yang dilakukan terhadap rakyatnya untuk mengikuti faham ini kontradiktif dengan semangat kebebasan berfikir yang didengungkanya. Akhirnya rakyat pun mulai jenuh dengan keadan seperti ini yang berlangsung selama tiga generasi (Al Ma’mun- Al Muktasim- Wafiq). Setelah itu al mutawakkil menjadi khalifah, menyadari rakyat sudah mulai benci dengan mu’tazilah segera dia mengumumkan bahwa bukan lagi menjadi faham resmi Negara, dan digantilah qodli dengan yang tidak terlalu liberal.
Dalam situasi seperti ini akhirnya muncullah tokoh yang bernama Abu Hasan Al Asyari yang meneruskan tradisi berfikir ala abu hanifah. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ahlu sunnah waljama’ah adalah suatu system atau cara yang kembaki pada ayat 54 surat Al-Hajj, lepas dari madazab atau partainya apa. Dengan demikian aswaja sebagai madzab yang bisa kit baca dokumenya secara jelas tidak ada.
c) Aswaja Sebagai Manhaj Alfikr
Sebelum Munas NU di lampung tahun 1992 wacana mainstream di kalangan NU adalah memposisikan aswaja sebagai madzab (totalitas system dan doktrin keagamaan yang bersifat sakral). Setelah Munas ini mulai muncul wacana aswaja sebagai metode berfikir. Dikalangan muda NU khususnya PMII malah lebih dari itu dengan melakukan terobosan-terobosan yang bernuansa liberal. Di komunitas LKiS berkembang wacana aswaja sebagai system pengetahuan yang bebas diperdebatkan dan di kritik. Menurut Nuruddin Amin setidaknya diperlukan lima hal yaitu:
1) Interpretasi ulang teks-teks fiqih yang lama untuk menemukan konteksnya yang baru
2) Bermadzab harus secara manhaji
3) Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok dan mana yang cabang
4) Fiqih harus dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif Negara
5) Perlunya pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial dan budaya.
Prototype wacana keagamaan yang berkembang di PMII adalah transformative dan toleran, yang terimplementasikan dalam praktek kehidupan yang berprinsip pada ukhuwah islamiyah, wathoniyah dan bashariyah. Diatas solidaritas ini meniscayakan dialog antar umat beragama yang menempatkan solidaritas kebangsaan diatas kepentingan golongan. Pemahaman seperti ini berbeda dengan kalangan islam modernis yang mempunyai jargon kembali ke alqur’an dan hadist, serta mengutamakan symbol dan formalitas. Disatu sisi PMII tetap mempunyai ikatan dengan tradisi NU, namun disisi lain PMII melampaui batas tradisionalismenya yang melalui kajian semiotiknya membongkar pemahaman-pemahaman lama dibalik tafsir yang sudah melembaga. Tradisi semacam ini yang membuat PMII akrab dengan tokoh-tokoh pemikir islam seperti Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Ali Syari’ati, Nasr Hamid Abu Zayd dll.
Dari uraian di atas terdapat dua konsep utama mengenai aswaja yaitu sebagai madzhab dan aswaja sebagai manhaj al-fikr. Perbedaan mendasar antara keduanya, konsep pertama meletakkan fiqih sebagai sebuah kebenaran ortodoksi, dan senantiasa berusaha menundukkan realitas sosial dengan dalil-dalil tekstual. sedangkan konsep kedua menempatkan fiqih sebagai strategi untuk melakukan interpretasi sosial, dan menempatkan fiqih sebagai lawan diskusi (counter discourse) dalam melakukan pencarian dan penemuan ragam permasalahan sosial yang tengah berlangsung. Bahan-bahan rujukan dipersiapkan secara lintas batas antar madzhab guna menemukan materi jawaban permasalahan yang sedang dicari solusinya.
Menganggap aswaja sebagai madzab menemukan kebuntuan dalam mencari berbagai macam pemecahan atas munculnya beragam permasalahan sosial. Hal semacam ini menimbulkan dumnia pemikiran mengalami ‘kejumudan’ dan cenderung tidak berkembang. Selain tidak terbiasa melintas rujukan antar barbagai macam madzhab, faktor kemampuan serta keterbatasan referensi menambah alasan yang kuat untuk tetap berada pada pemahaman aswaja menurut makna pertama. Dampaknya muncul sikap pasif, karena ada kekhawatiran mendapat ‘marah atau teguran’ dari para Kyai (masyayih) terhadap hasil kajiannya yang mungkin dianggap ‘menyesatkan’.
Kondisi semacam inilah yang tengah melanda dunia pergerakan akhir-akhir ini, minimnya tradisi-tradisi intelektual seperti membaca, diskusi, menulis semakin menjauhkan kader dari salah satu identitas gerakanya dengan kredo ”free market of ideas” yang tidak mengakui kebenaran tunggal, setiap kebenaran akan di uji dan di seleksi. Karena setiap kebenaran bersifat sementara dan sangat mungkin untuk diverifikasi hingga muncul teori kebenaran selanjutnya.
d) Islam Dan Realitas Keberagamaan
Ketakutan hanyalah bayang-bayang yang sangat menakutkan
Memang keberanian harus dilatih kawan
Kalau tidak kita akan selalu ditindas
Penindasan itu akan selalu datang
Penindasan demi penindasan
Kalau kita tidak berani melawan bayang-bayang matilah kita dalam sebuah proses kehidupan
(Wiji Thukul, Sajak Bintang Merah)
Menghadapi kenyataan praktek keberagamaan yang semakin dangkal, dan menindas mungkin petikan puisi sang maestro perlawanan lewat sajaknya itu perlu kita gelorakan kembali, kita perdengarkan ke nurani generasi muda yang terjebak dalam belitan budaya pop masa kini. Problem yang sedang terjadi sekarang adalah soal penafsiran. Tafsir seperti apa yang mampu memberikan landasan normative dan ideologis bagi umat beragama untuk menghadapi kenyataan ekonomi yang semakin represif. Pasar bebas menjadi salah satu konsep perdagangan yang mempunyai logika sendiri melampaui batas-batas territorial Negara. Pasar disini bukan hanya kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa saja, namun jauh dari itu yang terjadi adalah kebebasan untuk saling memangsa, saling mematikan dan memaksa Negara sebagai penonton dan pemberi obat penenang yang bersifat sementara kepada rakyatnya yang tersungkur karena tak kuasa menghadapi kerakusan para pemodal.
Kebijakan dan aturan Negara yang seharusnya memihak pada rakyat, telah diamputasi secara dini oleh kapital dan elit politik negeri yang masih saja bemental bandit. Kemiskinan tidak pernah datang dari langit, tetapi mengudara dari srtuktur yang membatu di bumi. Tidak ada satupun Negara didunia ini diproklamirkan tanpa cita-cita abadi dan luhur. Begitu pula Indonesia dalam pembukaan UU 1945 jelas tersurat bahwa tugas Negara adalah menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Negeri yang katanya dihuni oleh sebagian besar umat islam dunia ini telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan penghinaan yang berlebihan, bagaimanana tidak setiap hari kita mengetahui secara massif satu persatu pelaku korupsi ditangkap oleh KPK. Ditengah sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya, dengan pongahnya para pejabat dan memamerkan kemewahan dan kekayaanya. Sebagian besar penceramah agama hanya memproduksi kesadaran palsu bagi umatnya dalam menghadapi kegetiran hidup di nusantara ini. Sabar dan do’a menjadi obat mujarab luka karena bencana baik itu bencana alam maupun bencana kemanusiaan. Bukankah kita juga telah mengetahui bahwa risalah pembebasan para nabi juga datang dengan melawan system yang sudah mapan, karena system yang ada telah melukai rasa keadilan.
Agama berubah menjadi budaya yang mengutamakan symbol dan formalitas semata, dengan dukungan media kapitalisme dengan liciknya menciptakan surganya sendiri dengan syarat umat beragama rajin dalam melaksanakan ritual namun kosong dalam bentuk nilai dan pengamalan yang berdimensi kemanusiaan dan kehidupan sosial. Ini bisa kita lihat semangat umat islam Indonesia untuk wisata religi dikota suci sampai bekali-kali menambah daftar tunggu keberangkatanya hingga sepuluh hingga lima belas tahun kemudian. Siapa yang diuntungkan dengan gejala keagamaan seperti ini jelas bukan tetangga yang miskin itu, tapi maskapai penerbangan, dunia perbankan, KBIH dan banyak lagi dimensi ekonomi yang memang sengaja di ciptakan oleh pemodal untuk meraup keuntungan dari praktek agama yang mengutamakan ritual.
Misi islam sebagai rahmatan lilalamin, meciptakan keadilan, tidak akan tercapai dengan gaya keberagaman yang seperti ini. Kesadaran magic dan naïf masih mendominasi, ketidak mampuan membaca realitas penindas dan tertindas menjadi tumpul seakan agama tak berdaya menjawab persoalan ini. Disinilah konsep islam sebagai teolohgi pembebasan menemukan urgensitasnya dan relevansinya untuk kita kaji sebagai landasan berfikir dan beramal bagi warga pergerakan untuk tetap melawan rezim yang dholim demi terciptanya negeri yang kita cita-citakan yaitu baldatun toyyibatun warabbul ghofur.
e) Islam Dan Teologi Pembebasan
Tidak ada Nabi yang datang untuk mengokohkan status quo, karena gerak kenabian di dalam sejarah selalu merupakan gerak progesif bagi perubahan sosial secara keseluruhan, terlebih dalam dimensi keyakinan dan moralitas umat manusia. Para Nabi merupakanguru dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan menuju ke taraf yang lebih tinggi dan sempurna. Akhir kenabian ditandai bahwa kemanusiaan telah termanifestasikan menjadi kemandirian akal dan berkemampuan meningkatkan derajat progesifitasnya sendiri melalui petunjuk yang berupa wahyu dari Allah SWT.
Begitu juga islam, Perjuangan Muhammad SAW melawan ketidakadilan menuju terciptanya masyarakat tanpa kelas berangkat dari setting sosial masyarakat Arab pra-Islam yang diskriminatif. Ajaran Islam yang dibawanya mengajarkan kesederajatan di antara sesama, karena yang membedakan hanya nilai ketakwaan dari setiap individu. Dantradisi serupa itupun menjadi tradisi yang melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan.
Pada mulanya istilah teologi pembebasan atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin. Teologi pembebasan adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan. (Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah baru yang muncul di akhir abad 20 M. Namun sebenanarnya secara esensial, wacana ini telah ada sejak Islam lahir. Karena Islam lahir guna membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sitem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, poligami dan poliandri tanpa batas/aturan, dan lain-lain).
Istilah teologi pembebasan lahir kemudian setelah muncul wacana Marxis, sebagai bentuk perjuangan kelas kaum ploletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis. Namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan mengacu kepada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Teologi pembebasan sendiri lahir guna merombak paradigma berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syar’i yang tertuang dalam teks nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist) hanya sebagai sebagai rutinitas agama (sebatas aturan hukum fiqh), bukan menjadi suatu sitem keyakinan (tauhid/aqidah) yang menginspirasi umat Islam dalam kehidupan keseharianya. Semisal dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar, selama ini landasan tersebut hanya diimplementasikan dalam tatanan fiqh (shalat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esensial dari tataran fiqh tersebut tak terimplementasikan dengan sempurna dalam ranah sosial.
Asghar ali enginer
• Bahwa Islam adalah agama pembebasan, bagi Engineer, merupakan keniscayaan historis semenjak ia dilahirkan di semenanjung Arab. Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan yang mengancam struktur penindas baik di dalam maupun di luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), keadilan sosial (social justice).
• Agama adalah spirit untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan, tauhid kita yang hanya mengajarkan ketertundukan kita hanya pada sang khaliq meniscayakan kita untuk melawan tuhan-tuhan palsu yang diciptakan oleh penindas demi meneguhkan hegemoninya
Ali syari’ati
• Tokoh yang ikut mengarsiteki revolusi iran bersana imam khomaini terkenal dengan gagasanya yang bernuansa pembaharuan terhadap pemikiran umat. Kemajuan tidak akan kita dapatkan ketika kita masih terperangkap pada pemikiran yang hanya bersifat eksatologis.
• Pemikiran keagamaan harus direkonstruksi dan berpegang pada semangat islam sebagaiman awal diturunkan.
• Agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.
• Ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi dengan pernyataan. Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental. Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.
Hassan hanafi
Tokoh yang terkenal dengan istilah kiri islam ini adalah seorang filosof, doktor alumni sorbone perancis ini mengajar di universitas kairo. Setelah beliau menerbitkan jurnal yang bernama ”al yasar al islami”. Sebelumnya Istilah kiri mulai dikenal setelah revolusi perancis, kelompok radikal selalu mengambil tempat sebelah kiri dari kursi ketua konggres nasional. Sejak itulah kiri selalu di identikkan dengan partai maupun gerakan-gerakan yang bersifat progresif, revolusioner. Dalam terminology politik kiri berarti perjuangan dan kritisisme. Hassan Hanafi berpendapat bahwa secara sedrehana kiri islam harus bertumpu pada tiga pilar yaitu:
• Revitalisasi khazanah islam klasik dengan lebih menekankan pada rasionalisme, karena rasionalisme merupakan suatu keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan dalam kehidupan umat.
• Perlunya mengadakan perlawanan terhadap imperalisme budaya barat, yang cenderung destruktif dan menghancurkan eksistensi budaya-budaya lokal.
• Analisis terhadap realitas dunia islam dengan metode kontemporer dan meninggalkan metode tradisional yang hanya berdasarkan teks semata.
Semangat perlawanan harus terus dikobarkan karena realitas umat islam sekarang sedang mengalami ancaman baik dari luar yang berupa imperalisme, kapitalisme, dan zionisme, maupun dari dalam yang berupa kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan.
D. Kesimpulan
Paradigma kita terhadap suatu teks maupun realitas sosial akan mempengaruhi tindakan kita selanjutnya, begitupun juga cara pandang kita terhadap ajaran agama yang kita yakini. Sejarah telah membuktikan hanya dengan perlawanan lah keadilan sebagaimana spirit islam akan kembali memenuhi bumi allah ini, tradisi-tradisi intelektual adalah mata rantai pengetahuan yang tak boleh terputus dalam rangka menggapai cita-cita tersebut. Dan akhirnya sebagai warga pergerakan kita punya kewajiban untuk selalu melanjutkan tradisi-tradisi perlawanan pada kolinial, sebagai wujud penghormatan kita kepada para salafusholih yang telah mendahului kita serta implementasi dari komitmen beragama.
E. Daftar pustaka
Baehaqi Imam, Kontroversi Aswaja, ( Yogyakarta, LKIS, 2000)
Dzakiri, Hanif Post-Tradisionalisme Islam, (Jakarta, ISISINDO MEDIATAMA, 2000)
Engineer , Asghar Islam and Liberation Theology, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Jhon Rennie Short , An Introduction to Political Geography (1993)
Mahfudh Sahal , Nuansa Fiqih Sosial, ( Yogyakarta, L KIS,1994),
Muzadi Muchit, Mengenal Nahdlotul Ulama, ( Surabaya, Khalista, 2004)
Nikki R Keddie, Root of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran (New Haven: Yale University
Prasetyo Eko, Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial, (Yogyakarta, INSIST,2003),
Syari’ati Ali, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1982)
Shimogaki Kazoo, Kiri Islam Antara Medernisme dan Post Modernism Tela’ah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi
Syari’ati Ali, Imamah Dan Ummah, (Jakarta, Pustaka Hidayah, 1989),
Sunyoto Agus, Atlas Wali Songo, ( Jakarta, Pustaka Iman, 2012)
Salam Pergerakan,,!!!
*Ditulis Ole: Purwanto
*Makalah disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Sultan Hadlirin UNISNU Jepara, pada 28 Februari – 3 Maret 2014 untuk menunjang materi Aswaja dan Teologi Pembebasan
0 komentar:
Posting Komentar