Prawacana
Paradigma menjadi hal yang fundamental bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku organisasi. Sementara itu, cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatik yang baku, upaya merumuskan dan membagun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadiacuan yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut.
Pada masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristik tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teori kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan
ajaran kegamaan yang diyakini.
Teori Kritik dalam Sejarah Madzhab Frankfrut
Apakah makna “Kritis”?
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/ tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, teori kritis bermula dari Madzhab Frankfurt. Teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis. Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supra struktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
1. Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi
2. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial humaniora katakanlah kritik epistimologi;
3. Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo
4. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi
5. Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal yaitu : Berpikir dalam totalitas (dialektis); Berpikir empiris-historis; Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis; Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Kritik Agama dalam Beberapa Pemikiran
A. Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran. Hanafi memaknai teologi sebagai Ilmu Kalam.
Kalam merupakan realitas menusia sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi kehendak Allah-memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan. Gagasan teologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.
B. Muhammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam. Teori pengetahuan yang dibawa arkoun meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi agama Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis.
C. Asghar Ali Engineer
Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan riil kemanusian seperti kemiskininan, penindasan dan ketidakadilan, agama dianggap sebagai institusi yang mandul, tidak mampu berbicara dan bahkan kadang malah melegitimasi kepentingan penguasa. Hal ini karena inti dari ajaran atau teologi dari agama-agama yang ada tidak banyak perhatian dan keberpihakan kepada kaum lemah. Asghar Ali tidak menolak jika itu ditujukan pada Agama Islam. Satu sisi ia melihat teologi Islam yang ada memang lebih banyak berbicara tentang Tuhan. Akan tetapi pada sisi lain Asghar berpandangan bahwa Islam juga mempunyai nilai-nilai pembebasan yang revolusioner. Asghar mencoba merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam untuk merumuskan Teologi Pembebasan.
Dari sinilah dia mengemukakan tiga pembebasan yang mesti dilakukan umat manusia. Pertama, pembebasan dari sikap dan praktik-praktik rasisme dan sikap-sikap lain yang didasarkan pada anggapan bahwa manusia, ras, etnis dan suku tertentu antara satu dengan lainnya tidak setara. Kedua,pembebasan terhadap perempuan yang saat ini posisinya masih sub-ordinat di bawah laki-laki karena ideologi jender yang memandang posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ketiga,pembebasan dunia dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan semakin meneguhkan ketimpangan ekonomi dunia.
Paradigma Kritis Transformatif PMII
Pengertian paradigma bagi kaum PMII dapat dirumuskan sebagai titik berpijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, serta membuat rumusan mengenai suatu problem. Paradigma yang hendak dipilih PMII akan menjadi karakteristik dari komunitas PMII dalam memberikan analisis, memandang realitas dan menyusun konsep teoritik berbagai realitas sosial masyarakat.
Paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan Paradigma Kritis dalam tubuh warga pergerakan. Paradigma kritis hanya membawa PMII pada tataran metodologis konseptual untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dalam memandang realitas. Oleh sebab itu untuk menyempurnakan paradigma PMII dirasa sangat perlu dilengkapi dengan perpektif perubahan. Sesuai jargon mahasiswa sebagai agen of change, sehingga paradigma kritis dilengkapi dengan kalimah trasformatif, disamping kritis juga mampu melakukan perubahan. ( Krtitis Trasnformatif ). Terbentuklah paradigma kritis transformatif .
PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun. Paradigma Kritis PMII berupaya menegakan sikap kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan, dengan landasan agama sebagai inspirasi untuk kehidupan yang dinamis.
Mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif?
“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” merupakan Jargon PMII. Beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus menggunakan PKT adalah:
1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme.
2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).
3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo). Akibatnya ruang publik (public sphere) masyarakat direnggut oleh kekuatan negara. Hal ini akan berdampak pada berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, proses demokratisasi terciderai adanya sikap kritis yang dimusnahkan .
4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, sering kali agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Dogmatisme agama akan berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
5. PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi output kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.[]
Referensi
http://www.hidayatullah.com/read/2010/11/09/1373/mengenang-pemikiran-pluralis-mohammed-arkoun.html
http://m.aktual.co/voiceoffreedom/114415islam-dan-teologi-pembebasan-ashgar-ali-engineer
Nur Sayiid Santoso Kristeva, Manivesto Wacana Kiri, Membentuk Solidaritas Organik.
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
( Soe Hok Gie )
Paradigma menjadi hal yang fundamental bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku organisasi. Sementara itu, cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatik yang baku, upaya merumuskan dan membagun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadiacuan yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut.
Pada masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristik tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teori kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan
ajaran kegamaan yang diyakini.
Teori Kritik dalam Sejarah Madzhab Frankfrut
Apakah makna “Kritis”?
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/ tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, teori kritis bermula dari Madzhab Frankfurt. Teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis. Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supra struktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
1. Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi
2. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial humaniora katakanlah kritik epistimologi;
3. Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo
4. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi
5. Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal yaitu : Berpikir dalam totalitas (dialektis); Berpikir empiris-historis; Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis; Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Kritik Agama dalam Beberapa Pemikiran
A. Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkrit untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran. Hanafi memaknai teologi sebagai Ilmu Kalam.
Kalam merupakan realitas menusia sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi kehendak Allah-memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan. Gagasan teologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.
B. Muhammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam. Teori pengetahuan yang dibawa arkoun meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi agama Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis.
C. Asghar Ali Engineer
Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan riil kemanusian seperti kemiskininan, penindasan dan ketidakadilan, agama dianggap sebagai institusi yang mandul, tidak mampu berbicara dan bahkan kadang malah melegitimasi kepentingan penguasa. Hal ini karena inti dari ajaran atau teologi dari agama-agama yang ada tidak banyak perhatian dan keberpihakan kepada kaum lemah. Asghar Ali tidak menolak jika itu ditujukan pada Agama Islam. Satu sisi ia melihat teologi Islam yang ada memang lebih banyak berbicara tentang Tuhan. Akan tetapi pada sisi lain Asghar berpandangan bahwa Islam juga mempunyai nilai-nilai pembebasan yang revolusioner. Asghar mencoba merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam untuk merumuskan Teologi Pembebasan.
Dari sinilah dia mengemukakan tiga pembebasan yang mesti dilakukan umat manusia. Pertama, pembebasan dari sikap dan praktik-praktik rasisme dan sikap-sikap lain yang didasarkan pada anggapan bahwa manusia, ras, etnis dan suku tertentu antara satu dengan lainnya tidak setara. Kedua,pembebasan terhadap perempuan yang saat ini posisinya masih sub-ordinat di bawah laki-laki karena ideologi jender yang memandang posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ketiga,pembebasan dunia dari struktur ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan semakin meneguhkan ketimpangan ekonomi dunia.
Paradigma Kritis Transformatif PMII
Pengertian paradigma bagi kaum PMII dapat dirumuskan sebagai titik berpijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, serta membuat rumusan mengenai suatu problem. Paradigma yang hendak dipilih PMII akan menjadi karakteristik dari komunitas PMII dalam memberikan analisis, memandang realitas dan menyusun konsep teoritik berbagai realitas sosial masyarakat.
Paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan Paradigma Kritis dalam tubuh warga pergerakan. Paradigma kritis hanya membawa PMII pada tataran metodologis konseptual untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dalam memandang realitas. Oleh sebab itu untuk menyempurnakan paradigma PMII dirasa sangat perlu dilengkapi dengan perpektif perubahan. Sesuai jargon mahasiswa sebagai agen of change, sehingga paradigma kritis dilengkapi dengan kalimah trasformatif, disamping kritis juga mampu melakukan perubahan. ( Krtitis Trasnformatif ). Terbentuklah paradigma kritis transformatif .
PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun. Paradigma Kritis PMII berupaya menegakan sikap kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan, dengan landasan agama sebagai inspirasi untuk kehidupan yang dinamis.
Mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif?
“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” merupakan Jargon PMII. Beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus menggunakan PKT adalah:
1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme.
2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).
3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo). Akibatnya ruang publik (public sphere) masyarakat direnggut oleh kekuatan negara. Hal ini akan berdampak pada berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, proses demokratisasi terciderai adanya sikap kritis yang dimusnahkan .
4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, sering kali agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Dogmatisme agama akan berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
5. PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi output kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.[]
Referensi
http://www.hidayatullah.com/read/2010/11/09/1373/mengenang-pemikiran-pluralis-mohammed-arkoun.html
http://m.aktual.co/voiceoffreedom/114415islam-dan-teologi-pembebasan-ashgar-ali-engineer
Nur Sayiid Santoso Kristeva, Manivesto Wacana Kiri, Membentuk Solidaritas Organik.
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
( Soe Hok Gie )
Salam Pergerakkan,,,!!!
Ditulis Oleh: Rahmawati Andika
*Materi disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Sultan Hadlirin UNISNU Jepara, pada 28 Februari – 3 Maret 2014
*Materi disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Sultan Hadlirin UNISNU Jepara, pada 28 Februari – 3 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar