Mengenal dan mempelajari budaya bukanlah untuk fanatik kesukuan, karena persatuan bukan berarti semua harus sama dalam satu warna, dan irama. Indahnya pelangi karena rangkaian dari beberapa warna yang membentuk symphoni keanggunan, telivisi di jaman sekarang terlihat sangat menarik dan mengagumkan karena perpaduan beberapa warna yang mampu terbaca dan terlhat dalam bingkai layarnya bandingkan dengan telivisi jaman dahulu yang terlihat kaku karena kelau tidak hitam berarti putih warnanya. Begitupun Indonesia akan terlihat jauh lebih indah jika semua suku yang ada dapat mengaktualisasikan nilai-nilai kebudayaan nya tanpa di barengi dengan klaim paling benar dan paling unggul antar sesama.
Sebagai orang yang dilahirkan di tanah jawa tentunya sudah menjadi tuntutan bagi diri kita untuk mempelajari nilai-nilai dari para pendahulu kita untuk di jadikan bahan refleksi diri guna menatap masa depan. Banyak karya yang telah lahir dari para pujangga jawa dari serat jayabaya, kalatidha dan masih banyak yang lainya.
Salah satu ajaran yang masih aktual untuk kita ketahui adalah cuplikan dari serat kalatidha yang berbunyi:
Amenangi jaman édan, Ewuh aya ing pambudi
Milu édan nora tahan, Yèn tan milu anglakoni
Boya kaduman mélik, Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsaning Allah, Begja-begjané kang lali
Luwih begja kang éling lan waspada
Menjalani hidup di zaman yang carut marut
Dalam hati yang penuh kebimbangan
Mengikuti keadaan, tidak sampai hati
Tetapi jika tidak ikut melakukan,
Tidak mendapat bagian
Pada akhirnya tidak mendapat suatu apapun.
Adalah peringatan dari Tuhan.
Kebahagiaan yang diraih oleh mereka yang lupa diri
Tidak mungkin menyamai kebahagiaan orang yang
selalu ingat dan waspada.
Cuplikan Serat Kalatidha di atas merupakan sindiran terhadap pemerintahan Surakarta pada masa itu, namun jika di korelasikan dengan kenyataan dalam konteks sekarang petuah-petuah tersebut akan tetap relevan dalam menghadapi tantangan dan godaan jaman. Ditengah arus kehidupan yang serba matrealistis ktitya dituntut untuk punya prinsip yang teguh dalam menghadapi gelombang kehidupan yangt makin menggila.
Masyarakat terbelah menjadi dua bagian yaitu masyarakat yang édan dan masyarakat yang masih waras. Dilema bagi mereka yang berprinsip adalah mau ikut-ikutan “ édan “ tetapi selalu mendapatkan pembagian kue “ harta Negara “ atau bersikukuh menolak ajakan tetapi pada akhirnya bakalan kelaparan, karena tak secuil pun roti “ pengkhianatan” itu masuk kedalam perutnya. Ditengah kebimbangan itu teringat nasihat di atas bahwa “ sabeja bejané wong kang lali, maksih beja kang éling klawan waspada” meski orang-orang yang “ édan” itu mendapatkan hasil yang bisa dinikmati, dengan hingar bingar dan canda tawa, tetapi mereka lupa bahwa itu adalah bagian dari fukara wal masakin ( baca: rakyat). Sehebat apa pun mereka itu menutupi kerahasiaannya, suatu saat pasti akan tersingkap tabir tersebut. Maka berbahagia0lah mereka yang selalu ingat (dzikrullah) .

0 komentar:
Posting Komentar